Kamis, 18 September 2008
This My Team
Jumat, 12 September 2008
Dimensi Moral

Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan secara langsung pada mereka selama ini tanpa sedikitpun ada bantahan.
Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangkan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang berbeda. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang menjadi dominasi yang tidak dapat diminimalkan, karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan yang mengarah pada ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya saat ini. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima secara langsung tanpa ada penyaringan secara rasional yang mengarah pada pematangan pola pikir berdasarkan individualis dirinya atau dengan kata lain penerimaan secara bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil dalam diri seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu bukanlah salah satu kerjaan yang baik untuk dilakukan, tapi korupsi lebih harus selalu merasa dipojokkan dari keberadaan psikis remaja waktu kecilnya. Kita tahu sekarang mereka sudah bisa mulai melihat dan kita tahu pula bahwa anak remaja sekarang ini jauh sangat berbeda dengan anak remaja masa lalu. Jadi tidak perlu mensyaratkan secara non faktual dalam korelasinya dengan lingkungan yang nyata saat ini.
Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya.
Kemungkinan lainnya adalah remaja akan memilih jalan untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak. Akan sangat besar perubahan yang terjadi dalam mencari dan mewujudkan kepercayaan secara pribadi mengenai jati diri seorang anak, jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut. Berontak yang luar biasa dari sisi orangtua-pun akan menjadi picu ledak yang sangat kentara sekali. Jelas persaingan yang tidak logis menjadi semakin mudah dilihat, yaitu siapa yang membuat masalah dan siapa yang salah.
Peranan orangtua atau pendidik menjadi simbol utama bagi anak remaja. Simbol orangtua dan pendidik akan menjadi pandangan amatlah besar sekali bagi remaja pada saat memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remaja. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan tidak hanya satu alternatif saja supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik bagi kemajuan perkembangan pribadinya. Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung.
Jangan mencoba memulainya dengan bahasa-bahasa kaku yang membuat pemahaman remaja menjadi semakin sulit di pahami kembali. Memberikan pilihan sepertinya akan menjadi pembelajaran yang tepat ketika memutuskan bahwa sebagai orangtua atau pendidik harus mengetahui bagaimana sebenarnya kemampuan yang dimiliki oleh remaja kesayangan.
Remaja tersebut akan memilih untuk menemukan jawaban-jawaban yang dibutuhkan dari pertanyaan-pertanyaan yang telah mereka ajukan, kejadian seperti ini tentu saja terjadi di luar lingkaran dan nilai yang dianut oleh orangtuanya. Hal ini bisa mengarahkan kondisi korelasi antara anak dengan lingkungan menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Kenapa kita selalu merasa harus memiliki kedekatan yang mampu menciptakan korelasi bersesuaian, yaitu antara orang tua dengan anak? Tidak perlu dijelaskan lebih dalam lagi, karena anda pasti sudah mengerti maksudnya. Awal terjadinya konflik sampai akhirnya terciptalah kerusuhan/konflik dengan orangtua mungkin saja akan terus menajam.
Terasa sangat tidak bersahabat sekali pada saat kita menginginkan anak tersebut agar mau mengambil sebagian besar dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan selama ini. Orangtua menganggap jawaban yang diberikan merupakan jawaban yang seharusnya dipilih oleh sang remaja. Tentu saja konteks jawaban tersebut tidak lain hanyalah yang berasal dari kita sebagai orang yang pantas mereka ikuti, dan mereka pilih jawaban-jawaban atas banyaknya pertanyaan yang telah mereka ajukan selama ini. Bagaimana cara kita meyakinkan remaja kesayangan agar mereka tidak beralih pandangan terhadap jawaban-jawaban di luar yang diperkirakan?
Bukan berarti karena pandangan essensial tersebut kita harus melakukan over protective pada sang anak, tapi kondisi seperti itu untuk saat ini sangat memiliki kekuatan untuk diterapkan. Kedekatan antara orangtua dan anak sebetulnya sepanjang jalan, yaitu seiring waktu keduanya akan saling menemukan banyak kebutuhan yang membuat keduanya mau dan mampu mengerti setiap kondisi yang sedang terjadi antara kedua belah pihak. Ini adalah respon yang diharapkan akan dapat membawa kepada kepercayaan diri yang tinggi si anak terhadap lingkungan, begitu pula sebaliknya orangtua akan merasa memiliki anak yang patut mereka banggakan.
--------®®®--------
Dimensi Kognitif

Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya melalui pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.
Kenyataannya lain, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja dan bahkan orang dewasa yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak. Padahal kalau kita mau menerapkan metode tersebut bisa saja membuat anak-anak merasa terpacu untuk mengungkapkan kemampuannya melalui tatanan komunikasi dan berbahasa yang baik.
Penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.
Metode tersebut diharapkan dapat membuat mereka memiliki keberanian dalam berkomunikasi, terutama dengan menggunakan bahasa-bahasa lisan yang memenuhi kriteria berbahasa seorang remaja. Aplikasi berbahasa lisan lengkap dengan analisis masalah untuk menemukan solusi sepertinya dapat menjadi salah satu keuntungan tersendiri bagi seorang anak usia perkembangan. Kedewasaan lebih awal sepertinya akan membawa mereka menjadi sangat mampu bertahan dengan kondisi lingkungan yang belum seharusnya. Memang ada sedikit kerugian dalam kehidupan seorang remaja, karena mereka tidak menikmati masa remajanya, namun bagi orangtua sepertinya ini adalah salah satu cara yang tepat untuk mengurangi tingkat stress sang anak maupun orangtua, karena mereka telah menguasai interaksi yang seharusnya mereka lakukan, baik itu terhadap lingkungan keras sekalipun. Suatu keuntungan tersendiri bagi perkembangan mental sang anak.
--------®®®--------
Dimensi Biologis

Perubahan fungsi sistem reproduksi menjadi sangat dominan sekali, karena pada masa pubertas, dimana sistem hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon, yaitu gonadotrophins atau gonadotrophic hormones. Kedua jenis hormon tersebut berhubungan erat dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone atau sering disingkat FSH; dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone. Kecepatan pertumbuhan hormon-hormon tersebut di atas dapat dengan cepat pula merubah sistem biologis seorang anak. Banyak perubahan yang dapat terlihat ketika hormon tersebut bereaksi dalam diri si remaja. Memang tidak terlihat dengan jelas, namun semua itu pasti terjadi.
Tinjauan khususnya ialah anak perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah mulai aktif. Selain itu akan terjadi perubahan-perubahan fisik yang lain, seperti terjadinya perubahan bentukan payudara. Ini berarti payudara mulai berkembang, dan dengan jelas akan terlihat bahwa tubuh sudah menunjukkan perubahan bentukan fisik mengarah kepada orang dewasa. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone. Perubahan-perubahan bentuk fisik dalam diri anak tersebut akan dengan cepat berubah, kejadiannya sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia remaja. Kendali disini tentu saja tidak dapat berfungsi dengan baik, hanya saja orangtua harus memiliki kemampuan mendampingi mereka. Karena pada waktu pertama kali mereka mengalami perubahan-perubahan tersebut menjadi sangat sulit terdeteksi dengan tepat. Semua perubahan yang terjadi dalam diri mereka akan tampak asing bagi psikologis diri si anak. Untuk itu perlu ada orangtua yang bisa menjelaskan kepada mereka tentang perubahan-perubahan tersebut.
Banyak faktor yang menjadikan perubahan-perubahan tersebut semakin sulit untuk ditebak. Bisa saja perubahan-perubahan terjadi seperti yang telah disebutkan di atas. Internal ataupun eksternal faktor sangat kuat sekali korelasinya dengan perubahan-perubahan yang dialami oleh sang anak. Seperti penjelasan pada bab sebelumnya bahwa protektor adalah kita sendiri, yaitu orangtua. Harapannya adalah jangan mengarahkan mereka untuk menanyakan semua perubahan tersebut pertama kalinya pada orang lain. Usahakan dampingi mereka dengan pembicaraan-pembicaraan yang sifatnya memberikan pelajaran secara biologis, namun tidak membuat mereka merasa jijik ketika mendengarnya atau bagaimana caranya agar mereka tidak merasa risih dengan terjadinya perubahan yang terjadi dalam waktu yang sangat cepat dan secara tiba-tiba.
Perlu digaris bawahi bahwa ”sumber ilmu bagi mereka adalah kita sendiri (orangtua mereka)”. Jadi betapa sayangnya bila suatu ketika perubahan tersebut mereka tidak berani mengungkapkannya pada orangtua, atau terlewatkan begitu saja oleh kita. Ada satu pertanyaan yang sifatnya mendasar dan sangat puitis. Apakah berani membuktikan bahwa mereka adalah milik kita?.
Padahal mungkin saja secara sepintas kita sendiri tidak pernah melakukan untuk menjadikan mereka menjadi bagian dari ”belahan jiwa seutuhnya”, terutama pada saat kebutuhan penting mereka tidak dapat di penuhi sesuai kemampuan. Betapa sayangnya semua itu bila terlepas begitu saja tanpa ada sedikitpun masukan dari orang tersayang mereka.
Dalam hal ini, apakah kita merasa menjadi orangtua yang bertanggung jawab? Kalau berani memberikan jawaban secara garis besarnya saja itu adalah salah satu upaya yang sangat baik. Karena memang ada sebagian dari orangtua yang tidak mungkin dapat membagikan sedikit saja dari isi kepala kepada anaknya. Hal itu lebih disebabkan karena tingginya waktu kerja orangtua, sehingga personal anak menjadi tidak mendapat perhatian dengan baik, atau mungkin karena faktor pendidikan orangtua yang cenderung tidak lebih baik dari sang anak. Bila berpandangan ke depan, sebetulnya faktor tersebut bisa ditepis. Aspek waktu bisa menjadi abstraksi motivasi kita untuk merubah permasalahan tersebut, yaitu melalui bentukan kondisi apresiasi kualitas pengertian saja pada anak sepertinya akan mendorong mereka lebih memiliki kesadaran diri untuk mengerti kondisi orangtua.
Jadi tidak perlu merasa khawatir berlebihan hanya karena kondisi permasalahan yang sangat rumit, jelasnya itu bukan menjadi alasan lagi, karena tingkatan-tingkatan waktu selalu diiringi dengan beragam perubahan sistem yang ada, begitu juga dengan bagaimana seharusnya menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak. Pada dasarnya ada bagian penting selain memberitahukan pada orangtua yang sudah memiliki dasar mendidik dan bisa mengendalikan anaknya, yaitu tradisional dan modernisasi sistem pendidikan anak menjadi bahan yang harus di pikirkan secara serius.
Konteks dasarnya ialah menemukan jawaban yang tepat agar adanya keseimbangan keduanya. Tujuannya bila suatu hari nanti dari kedua dasar tadi mengarah pada pemutarbalikan kondisi, seperti orangtua yang memiliki latar belakang tradisional menginginkan anak-anaknya mampu menerima perubahan sistem secara modern, begitupula sebaliknya dengan orangtua yang memiliki latar belakang modern. Apa yang harus dilakukan didalamnya jika kedua orangtua tidak memiliki kemampuan mengajarkan anak-anaknya dengan sistem yang selalu mengarah pada perubahan-perubahan sistem dan lebih bersifat praktis. Mungkinkah rasa ketakutan akan ada didalamnya ketika orangtua merasa bahwa anak-anaknya telah memasuki babak baru dalam kehidupannya. Atau mungkinkah kekhawatiran yang berlebihan akan semakin membuat mereka tidak mengalami dan menjalani perubahan-perubahan ini dengan baik. Keperdulian memang harus dimunculkan, hanya saja dimana kita harus meletakkannya. Harapan yang hendak dicapai adalah agar hubungan orangtua dengan sang anak tidak hanya sekedar hubungan antara orangtua dan anak semata, tapi lebih cenderung menciptakan konsep baru, yaitu demi kita anak harus memiliki kesadaran tinggi agar cita-citanya dapat terwujud.
--------®®®--------
Masa Remaja

Lebih jelas lagi bahwa dalam lingkup sosial mereka cenderung memiliki kepekaan dan kelabilan yang luar biasa dalam mengambil setiap keputusan terhadap sesuatu yang harus mereka lakukan dibandingkan periode/masa/tingkatan usia anak-anak. Sepintas bila melihat dari konteks tersebut seakan hidup para remaja saat ini memiliki prosedur yang tidak terkonsep secara sempurna. Boleh dikatakan bahwa orangtua tetap merancang masa depan anak-anaknya, namun semuanya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Mari kita lihat masa pubertas yang dahulu dianggap sebagai awal keremajaan, ternyata tidak lagi menciptakan sebuah validitas sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja, sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan, yaitu 15 tahun sampai dengan 18 tahun, kini batasan usia tersebut semakin tidak jelas alias kabur saja, karena saat ini banyak sekali terjadi perubahan-perubahan pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Dari pengamatan di lapangan bahwa sekarang ini seorang anak berusia 10 tahun bisa saja sudah atau sedang mengalami pubertas, namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Sebagai kendala yang sangat mungkin sekali kita amati, terutama dari perubahan-perubahan fisik serta penampilan. Tampak jelas bahwa itu adalah tanda awal sebagai sifat kualitatif perubahan anak ke remaja.
Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang bersamaan ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam perkembangannya saja seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak, tapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa. Mungkin ini salah satu bentuk protes terstruktur yang ada dari dalam diri si remaja. Hanya saja, tuntutan tersebut tidak mungkin dapat dituruti sepenuhnya. Karena secara praduga masih dihadapkan pada prasangka. Ketajaman analisa dibutuhkan, dengan pernyataan ”siapapun yang ada dihadapan orangtua atau bagian dari keluarga” sudah menunjukkan perubahan nyata dalam tindakannya. Yang pertama kali harus dikhawatirkan dari anak tadi ialah perubahan-perubahan dramatis mengarah pada ketidakwajaran secara prinsip mengakibatkan timbulnya reaksi-reaksi keras dari lingkungan, apalagi perubahannya terjadi secara tiba-tiba. ”Mereka telah membuat kita merasa kaget dengan reaksinya tersebut”. Terutama sekali ini telah terjadi ketika orangtua berharap mereka masih mau mengikuti banyak hal yang disarankan.
Memang banyak perubahan pada diri anak yang sedang mengalami transisi. Itu semua sebagai tanda keremajaan yang baru saja mengalir dalam jiwa mereka. Namun demikian, seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan mutlak bagi keremajaan seseorang. Ada sebagian dari mereka mencaplok sedikit dari pribadi yang hampir mendekati dirinya, seperti keinginan mereka menirukan aksen orang yang berada di atas mereka alias orang dewasa. Apalagi ketika mereka memandang bahwa idola masa kini cocok sekali untuk mereka tirukan baik hidup ataupun gaya hidup (lifestyle). Namun satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan-perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka maupun korelasi dengan lingkungan (wujud perubahan yang sangat jelas adalah pergaulan yang mereka adopsi). ”Pilihanku adalah yang paling menyenangkan”.
Sebagai protektor sebaiknya orangtua harus menyadari bahwa semua itu adalah bagian berharga dalam perpindahan tingkatan kehidupan anak ke usia remaja. Yakinlah bahwa banyak orang akan mengatakan sulit untuk memperpanjang masa usia anak hingga menjadi masa transisi ke usia remaja. Karena semua orang tidak akan mampu menghilangkan konteks perubahan yang ditunjukkan dari fisik apalagi secara mendalam yaitu psikologis sang anak.
Perilaku-perilaku yang menurut anak remaja sangat mungkin mendewasakan mereka, sepertinya suatu upaya yang mutlak ada dalam diri mereka. Tidak terlepas dari ikatan waktu, mungkin saja dapat terjadi dalam waktu yang lebih awal dari harapan sebenarnya. Peniruan-peniruan itu cenderung banyak orang akan melihat mereka dan menyatakan, hal itu merupakan salah satu bentuk perubahan karena korelasi dari lingkungan yang berlaku pada waktu yang belum seharusnya. Untuk dapat memahami remaja, maka perlu dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi-dimensi tersebut. Langkah yang tepat untuk memonitor perubahan-perubahan dalam diri remaja. ”Betapa bangganya ketika melihat bahwa anak remaja kesayangan mampu menjalani perubahan dengan cara mereka sendiri tanpa perlu merehab ulang perilaku dalam pergaulannya”.
--------®®®--------
Apakah Anak Anda Ataukah Anda Sendiri?


Permasalahan Remaja
[Interaksi Sosial anak remaja dengan lingkungan yang memberikan teguran pada orangtua agar mampu memberikan batasan dalam adopsi isme. Interaksi sosial tersebut tidak terlepas dari peran psikologis anak remaja dalam menghadapi kekerasan verbal yang cenderung memojokkan.]
Youth at Risk: Meeting the Sexual Health Needs of Adolescents
Q and A (Questions and Answers) Population Action International Prepared by: Stephanie Koontz and Shanty R. Conly April 1994
à Masa Remaja
à Dimensi Biologis
à Dimensi Kognitif
à Dimensi Moral
à Dimensi Psikologis
à Apa yang harus Aku Pilih?
à Isu-Isu Utama
à Kebutuhan dan Pengalaman
à Mestinya Dilakukan Sesuai Prosedur (catatan untuk orangtua)
à Perilaku Agregasi
à Merespon Emosi
à Strategi Copings
à Mengenal Mekanisme Pertahanan Diri
à Mencemaskan Penampilan
Bagi sebagian besar orang yang baru beranjak dewasa bahkan yang sudah melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup mereka. Kenangan saat remaja merupakan kenangan yang tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk apapun saat itu. Sementara itu banyak orangtua yang memiliki anak berusia remaja merasakan bahwa usia remaja adalah saat-saat yang sulit. Alasan kuatnya ialah banyak konflik yang dihadapi oleh orangtua dan remaja itu sendiri.
Banyak orangtua yang tetap menganggap anak remaja kesayangan masih perlu dilindungi dengan ketat sebab di mata orangtua para anak remaja, masih belum siap menghadapi tantangan dunia orang dewasa. Sebaliknya, bagi para remaja, tuntutan personal membawa mereka pada keinginan untuk mencari jati diri yang sesuai guna menciptakan kemandirian dan terbebas dari pengaruh kehidupan orangtua. Keduanya memiliki kesamaan yang jelas sekali, bahwa remaja merupakan tahapan atau tingkatan waktu kritis sebelum menghadapi hidup sebagai orang dewasa.
Bila kita harus mengutip permasalahan-permasalahan yang memang sedang masih menjadi bahan pembicaraan besar bagi setiap negara, diwujudkan melalui tanya jawab di bawah ini. Tidak hanya bagi negara-negara maju, tapi lebih dominan membuat setiap negara harus memikirkan jawabannya. Memang menjadi sangat mengkhawatirkan kepribadian remaja-remaja negara berkembang, ketika generasi yang menjadi kebanggaan negara tersebut tidak memiliki rasa tanggung jawab secara pribadi ataupun secara umum. Dikhawatirkan pula ketidakperdulian terhadap lingkungan sekitar akan semakin membawa kesengsaraan yang semakin meluas. Untuk itu kutipan cerita di bawah ini mudah-mudahan bisa menjadi salah satu gambaran nyata gaya hidup masa kini anak-anak remaja.
Sex education and contraceptive services for young, unmarried people remain controversial in many societies. Yet the problem of unwanted pregnancy and the AIDS epidemic urgently call for greater openness about adolescent sexuality.
Many young people around the world become sexually active at an early age but most do not use any contraception. The health risks of unprotected sex for adolescents are substantial. Girls in their early, teenage years - whether married or unmarried - have a much higher risk of medical complications or death in pregnancy and childbirth than women in their twenties. Unmarried girls are also at high risk of unsafe, illegal abortion. Adolescent childbearing has significant costs to society, including medical care and girls dropping out of school before completing their education. Meanwhile, the incidence of AIDS and other sexually-transmitted diseases (STDS) among young people is growing.
Addressing the sexual health needs of youth requires a comprehensive approach, beginning with universal and relevant sexuality education-ideally introduced before young people become sexually active. The school systems in most countries, however, have largely failed to meet the sexual health education needs of youth and children. Contrary to popular opinion, sexuality education does not appear to encourage earlier sexual activity; rather, it teachers young people the skills they need to practice safe and responsible sexual behavior and may encourage young teenagers to delay first intercourse until they are older and more mature.
To be effective, sexuality education needs to be directly linked to contraceptive counseling and services. But most family planning and health services-especially government-run programs-have traditionally served married couples and done little to reach young people. In fact, many programs do not serve unmarried young people, either as a matter of explicit policy or for lack of initiative to reach out to youth. Most programs also do not sufficiently emphasize the use of condoms for prevention of STDS. Although the unique outreach, information and counseling needs of youth are best met through specially-designed programs, existing family planning services could do much more to address the needs of young people.
Private organizations, despite their limited resources, have pioneered a variety of strategies for reaching youth, including special reproductive health clinics for young people; community centers which provide contraceptive education and services as part of a broader range of services for youth; and community-level outreach programs in which youth are often involved in educating their peers and in contraceptive distribution. Experience suggests that a combination of these approaches can best reach different groups of youth, including those both in and out of school. The scope of current efforts, however, needs to be significantly expanded.
Finally, efforts are needed to address the social context of adolescent sexuality and childbearing. Broader initiatives, such as expanding education and employment opportunities for girls and eliminating harmful traditional practices like child marriage and female genital mutilation, are also important over the long-term to improving adolescent sexual and reproductive health.
Questions:
Should family planning programs serve unmarried young people? WM sex education and access to contraceptives increase the likelihood that adolescents will be sexually active?
Answers:
Globally, there are about 500 million adolescents aged 15 to 19, most of whom will. Become sexually active before age 20. Young people seldom use contraceptives and are at high risk of pregnancy, AIDS and other sexually diseases (STDs). Yet in most countries, youth are not reached by existing reproductive health services, despite evidence that providing sexuality education and making contraceptives available to young people helps foster more responsible sexual behavior and does not encourage earlier intercourse.
In some developing regions, as in South Asia early marriage is still common and sexual activity before marriage remains relatively rare. In many societies, however, traditional patterns are changing. Young women, especially, are marrying later, and an increasing proportion of adolescents are unmarried. In Bangladesh, the average age of marriage for women has risen from 14 to 18 years since the early 1960s. Because girls are reaching puberty at a younger age, there is a growing gap between the biological ability to have children and the social sanction to do so. Social forces, such as urbanization, changing family structures, and the influence of mass media and peer groups on young people, all contribute to a new cultural context, many aspects of which legitimize sexual activity outside of marriage.
Many sexually active adolescents are older youth who are married or in long-term stable relationships. But many youth begin sexual relations at a very young age. According to recent Kenyan and Ugandn surveys, sexually active youth, on average, had experienced intercourse by age 15 or younger. In the United States, one quarter of 15 year old girls and one-third of 15 year old boys are estimated to have had intercourse, a larger proportion than a decade ago. In nine Latin American and Caribbean countries, roughly one-half to two-thirds of women reported having intercourse before age 20.
Despite the health risks and social problems associated with unprotected sex, youth - particularly younger adolescents - are far less likely than adults to use contraceptives, or to use them consistently and effectively. Contraceptive or to use among both unmarried and married youth is low in developing countries. A recent survey in Costa Rica found that 10 percent of sexually active youth aged 17 and under used contraception at first intercourse, compared to 26 percent of 18 and 19 year olds. In a study in Kenya, 89 percent of sexually active teenagers surveyed had never used any method of contraception. Overall, fewer than 30 percent of married adolescent women in developing countries use contraception, although levels of use range from I percent or even lower in Benin, Nepal and Nigeria, to 40 to 50 percent in Brazil, Jamaica, and Thailand.
Except in some Western European countries, the vast majority of sexually active adolescents lack access to good reproductive health education and services. In many countries, existing services are limited to small-scale pilot programs which reach only a small proportion of all youth. Government support for adolescent programs has been constrained by societal discomfort in acknowledging adolescent sexual activity and by the misconception that access to sexuality education or contraception promotes sexual activity among youth. Recently, however, the World Health Organization (WHO) reviewed 35 studies in several countries, concluding that appropriate sexuality education does not encourage earlier initiation of intercourse but often delays sexual activity and leads to safer sexual practices. The WHO and other studies also show that access to contraceptive services is not associated with earlier sexual activity.
Questions:
How common is the incidence of pregnancy, abortion and childbearing among adolescents?
Answers:
The proportion of women who give birth in their teenage years varies greatly but is often substantial. Over half of all women in many African countries and over a third of women in much of Latin America have their first child before age 20. In the United States, which has the highest rate of teenage pregnancy among more developed countries, roughly 20 percent of women give birth before age 20. Because a high proportion of all adolescent pregnancies are unintended and unwanted, they are often likely to end in abortion, which in many countries is illegal and only available under unsafe conditions.
Worldwide, birthrates for women under age 20 are declining. However, as the population of young adults rapidly increases, the total number of births to adolescent women is growing. Moreover, in many countries births to adolescents account for an increasing proportion of overall births, as fertility rates decline more rapidly among older women. Patterns of adolescent childbearing vary greatly from country to country, even within the same region. In the late 1980s, an estimated 31 percent of young women in Egypt gave birth by age 20, compared to 13 percent of young women in Tunisia.
In some countries such as Botswana and Liberia, premarital births may be culturally accepted as a way for young women to prove their fertility, and a significant proportion of first births occur outside of marriage. Premarital pregnancy is also a common reason for marriage in many countries. Recent surveys of young adults in Latin America and the Caribbean found that from one-fifth to two-thirds of first births to young married adults were conceived before marriage. In an Indonesia survey, one in five married women aged 20 to 24 reported conceiving her first child premaritally. Similarly, at least one in five women aged 20 to 24 in Benin, Cameroon, Cote d'lvoire and Nigeria had conceived premaritally and given birth before age 20.
Regardless of marital status, a high proportion of adolescent pregnancies are unintended. In six African countries, unintended pregnancies range from about 50 to 90 percent of pregnancies in unmarried adolescents and from 25 to 40 percent of pregnancies in married adolescents. In six Latin American and Caribbean countries, between 40 and 50 percent of births to adolescent women are unintended; a somewhat smaller proportion are unintended in three other countries. These data exclude pregnancies ending in abortion and miscarriage.
Globally, abortions among girls aged 15 to 19 are estimated to account for at least 5 million of the roughly 50 million induced abortions that occur each year. Worldwide, over half of women seeking abortion are married with children. But particularly in industrialized countries and in parts of Africa, young unmarried women account for a significant percentage of all abortions. In the United States, 4 out of every 10 teenage pregnancies are terminated, accounting for one fourth of all abortions. Surveys in Brazil also found that over half of young men in two cities and almost one-third of young men in a third city reported being responsible for a pregnancy that had been terminated. In Shanghai, in 1988, the annual abortion rate among 15 to 19 year olds was slightly more than one procedure for every 20 unmarried women.
Questions:
What are the health risks associated with adolescent pregnancy? Answers:
Complications in pregnancy and child birth are greater for adolescent women than for women in their twenties, regardless of marital status. The risk of death, particularly in childbirth, is substantially higher for girls under age 16 and their infants; good prenatal care can significantly decrease these risks. Unsafe abortion-a leading cause of maternal mortality worldwide-is also the cause of a high proportion of maternal deaths among adolescents.
Due to both biological and behavioral factors, early childbearing remains a health risk even when other social and economic factors are taken into consideration. Thus, married adolescents also face significant health risks during pregnancy and childbirth. The younger the adolescent, the higher the risk of complications in childbirth and of maternal or infant death. In a 1974 study in Bangladesh, the risk of dying during pregnancy or childbirth was almost five times higher for girls aged 10 to 14 than for women aged 20 to 24. Young girls are also more likely than most women aged 20 to 34 to develop problems such as anemia and high blood pressure, as well as potentially fatal complications such as toxemia and hemorrhage.
Obstructed labor is another serious and sometimes fatal problem, since the pelvis of many young girls is too narrow for normal delivery. The risk of obstructed labor can be greatly increased by scarring resulting from female genital mutilation (female circumcision), a traditional practice affecting roughly 100 million girls and women, primarily in Africa. Injuries caused by obstructed labor can result in infertility or leakage of urine or fecal matter after delivery. Girls who experience these problems often become social outcasts.
Babies born to young mothers are also at greater risk of premature birth, low birth weight and infant death. A study in Kenya revealed that 40 percent of mothers aged 13 to 14 had babies of low birth weight, compared to 25 percent of 19 year olds. Data from 28 national surveys suggest the relative risk of death for children under five is 64 percent higher for those born to mothers aged 17 or younger, compared to children born to mothers aged 18 to 34 who were not at special risk. The relative risk increased to 130 percent for subsequent births spaced less than two years apart to mothers aged 17 or younger.
Much of the increased risk to young mothers and their infants can be offset by good prenatal care and adequate nutrition during pregnancy. In a hospital-based study of deliveries in Northern Nigeria, the maternal mortality rate for girls aged 14 or younger who had received good prenatal care was 500 deaths per 100,000 live births, compared to 4,200 deaths per 100,000 births for those who did not receive such care. In many countries where access to health services is limited, however, young girls are less likely than older women to seek and receive prenatal care.
Adolescents are believed to account for a significant proportion of worldwide abortion related deaths, estimated at over 100,000 each year. Among women hospitalized for complications of induced abortion, the percentage of patients under age 20 varies widely, from 7 percent in a study in Nepal to between 53 percent (including 20 year olds) and 72 percent in several studies in Nigeria. Younger women are more likely than older women to seek later-term, more risky abortions under unsafe conditions, or to attempt to induce an abortion themselves. Adolescents are thus at special risk of complications of unsafe and incomplete abortion. Aside from death, the long-term consequences may include chronic infection and infertility.
Questions:
What are the economic and social consequences of adolescent pregnancy and early childbearing?
Answers:
Early childbearing limits the educational and employment opportunities of young women and girls, making it more likely that they and their children will be poor. The direct costs to society include subsidies for medical care and poverty assistance for women and their children, where these are made available. Indirect costs include a less educated and thus less productive workforce. High rates of adolescent childbearing also contribute to rapid population growth, which in turn impedes economic and social development.
In many countries, the majority of pregnant girls are either compelled to leave school or drop out due to their need to support themselves. Only a small proportion ever return to school. Studies in Kenya and Tanzania in the 1980s indicated that more than 10 percent of girls leave secondary school each year because of pregnancy. In a survey in Zimbabwe, 90 percent of 14 to 24 year olds who became pregnant in school were forced to drop out, many of them marrying soon after. Pregnancy is reportedly the single most important reason why girls fail to complete secondary school in the Caribbean.
Overall, early childbearing decreases a girl's ability to find paid employment. In Latin America and the Caribbean, teenage mothers appear seven times more likely than older mothers to be poor. In a 1992 Chilean study of women who gave birth as teenagers, the risk of poverty was most strongly associated with low educational status and earning ability, as well as lack of financial support from the child's father. The disadvantage of early motherhood may be overcome when girls have strong family support, high educational aspirations and achievements, and access to economic opportunities. However, in many societies, young unwed mothers are stigmatized and may receive little support from their families. Young unmarried mothers sometimes abandon their children or turn to prostitution to support themselves.
The costs of adolescent pregnancy to society are enormous. In 1990, the U.S. government spent over $25 billion for social and health services and welfare payments to families headed by women who had their first child in their teenage years - an expenditure estimated to be two-thirds higher than if all teenage mothers had delayed childbearing until their twenties. Even in countries which do not provide ser-vices or monetary assistance, greater poverty, combined with lower educational levels and productivity, are important indirect costs to society.
The cost to society also includes health care for pregnant adolescents and their infants including medical care for premature infants and complications of childbirth more likely to occur among adolescents. In 1987, one hospital ward in Northern Nigeria maintained a list of 1,000 girls waiting for surgical repair of vaginal injuries during childbirth. Where adolescents represent a high proportion of hospital admissions for abortion complications and these complications consume a significant share of available funds, adolescent pregnancy also diverts scarce resources from other health problems.
Early childbearing is closely linked to high population growth rates because it shortens the time span between generations and because women who have their first child at a younger age tend to have larger families. In Latin America, women who begin childbearing as teenagers are estimated to have two to three more children than women who delay their first birth until their twenties or later. In South Asia, early marriage and childbearing are closely linked to larger family size and rapid population growth. By contrast, in most East Asian countries, adolescent birthrates are low and average family size is close to or below the two-child population replacement level.
Questions:
To what extent are health problems like AIDS and other sexually transmitted diseases (STDS) associated with adolescent sexual activity?
Answers:
According to WHO, 250 million new cases of STDs occur worldwide each year, the highest rates among 20 to 24 year olds, followed by 15 to 19 year olds. Young people are at high risk of STDs because they may have a series of sexual relationships and are unlikely to use condoms. Moreover, many people with AIDS are infected in their teens. While young men and women are both at risk, the health impact of STDs and the risk of AIDS appear greater for young women.
According to WHO estimates, 1 in 20 teenagers worldwide acquires an STD each year. In Kenya, Nigeria and Sierra Leone, between 16 and 36 percent of youth tested in small-scale studies had one or more STDS. A survey in a Peruvian town found that 23 percent of secondary school males had had an STD. And in the United States, roughly I in 8 teenagers contracts an STD each year.
An important overall risk factor for STDs is having several sex partners or having a partner who has other sex partners. Youth are often at risk because they may have a succession of exclusive but short-term sexual relationships. In many cultures, it is also common for young men to frequent prostitutes - in Brazil, Guatemala and Thailand, for example, a young man's first intercourse is likely to be with a commercial sex worker. Adolescents, particularly girls, are more vulnerable to unsafe sex when they are involved in an unequal relationship, especially with an older partner.
Married adolescent women may have husbands with more than one wife or sex partner. Also at risk are sexually exploited or abused adolescents, including street youth who sell sex for survival. For youth in general, use of drugs and alcohol is also associated with a higher risk of STDs as well as pregnancy.
Use of latex condoms greatly decreases the risk of AIDS and other STDS. However, young people tend not to perceive themselves at risk. Young women in particular may find it difficult to discuss protection with their sexual partners, sometimes even risking violence by suggesting condom use. Anal intercourse, commonly practiced between young men and women in countries like Brazil to avoid pregnancy (as well as between young men), may also promote the spread of AIDS. Worldwide, boys and young men who have sex with other males are at higher risk of STDs for a variety of reasons, including poor access to relevant sexual health information and services resulting from more general societal discrimination.
Although both young men and women are at risk of acquiring STDS, the impact on the health of young women is usually greater. STDs are more easily transmitted to women, are more difficult to diagnose, and result in more serious complications in women. Young women have the added risk that a biologically immature cervix appears more prone to infection. Female genital mutilation can also increase the risk of contracting STDs through bleeding or open infection of scarred areas.
Common STDs can also cause pelvic infection, infertility, a variety of serious pregnancy-related complications, and cervical cancer. For both men and women, infection with an STD appears to increase the risk of acquiring HIV, the virus which causes AIDS, by as much as 10 fold.
Adolescents - especially girls - are at special risk of AIDS. Worldwide, among the 15 million people infected with HIV, rates of infection appear to be highest for women aged 15 to 25 and for males aged 25 to 35. In a study in Rwkita, over 25 percent of pregnant women aged 17 or younger tested positive for HIV. Slowing the spread of AIDS requires changes in the sexual behavior of youth as most transmission is through sexual intercourse and an estimated two-thirds of those who acquire AIDS are infected by age 25.
Questions:
What are the major obstacles to expanding access to sexual health services for youth?
Answers:
In most developing countries, existing laws, policies or practices prohibit or severely restrict access to contraception and abortion for unmarried young people. Most fancily planning programs have done little to reach adolescents. Many programs exclude unmarried youth and health workers often have strong biases against serving them. Moreover, adolescents themselves often have negative perceptions regarding the accessibility and acceptability of existing services.
A study in Asia in the early 1980s found that only two countries- Thailand and Hong Kong-allowed access to contraception without restrictions based on age or marital status. According to a more recent survey of adolescent reproductive health programs in developing countries, many African and Asian programs for young people primarily serve older, married youth, while in Latin America, more programs serve unmarried youth under age 20. Efforts to improve adolescent health are typically developed within the context of health policies for children or adults and are characterized by poor coordination between education, health, and family planning services.
At a practical level, most family planning programs aim to help married couples limit or space births, rather than to help adolescents avoid first pregnancies and STDs. Clinic staff often refuse to provide unmarried or childless adolescents with contraceptives. In a study in the United States, use of services by adolescents depended on three factors: dissemination of information regarding the availability of services, guaranteed confidentiality, and affordability of services. Surveys in several countries indicate that adolescents are often reluctant to use existing services for adults because they are afraid of discovery by family members or other adults they know, or of being reprimanded or turned away by clinic staff. Proximity of services and access to transportation, convenience of clinic hours, and supportiveness of clinic staff are other factors which appear to influence use of family planning services by adolescents.
Young women generally have less access to safe abortion services than older women because they are less likely to know where services are available or to have adequate funds. They may also find it difficult to obtain parental consent where required. Adolescents are also more likely to deny or be unaware of a pregnancy and to delay a decision to have an abortion. However, in some settings adolescents may perceive abortion to be more accessible or acceptable than contraception, even when available under unsafe conditions. Group discussions with youth in Kenya and Nigeria, for example, revealed that they had more positive attitudes and better information about illegal abortion than about contraception.
Questions:
What elements should a comprehensive sexual health policy for adolescents include?
Answers:
Societies need to acknowledge adolescent sexual activity and recognize the special sexual health needs of young people. The key elements of a comprehensive strategy are universal sexuality education, linked to easily accessible and affordable contraceptive and safe abortion services. A truly comprehensive approach should also include broader social initiatives to expand education and employment opportunities for girls and to eliminate traditional practices that harm the health of young women and girls.
Sweden, which has among the most progressive policies in the world on adolescent sexual health, has adopted a comprehensive approach which includes universal sexuality education; special adolescent clinics closely linked to schools; free, widely available and confidential family planning and abortion services; extensive advertising of contraceptives in the media; and widespread availability of condoms. Governmental efforts have emphasized pregnancy and STD prevention, rather than promoting abstinence alone. Although the average age of first intercourse - 16 years - is quite young in Sweden, teenage birth rates are low, at II births per 1,000 women age 15 to 19.
Efforts to prevent early childbearing must also recognize that adolescent sexual activity and pregnancy is closely linked to the extent to which women derive their social status from bearing children and to which young women have alternatives to motherhood. Studies in different regions of the world have shown that girls who aspire to finish secondary school are less likely to become pregnant. In some countries, adolescent girls become pregnant after dropping out of school or terminating their education for other reasons. In sub-Saharan Africa and elsewhere, the nature of economic activity and the extent of women's participation in the labor force are closely linked to the age at which women have their first child.
Recognizing these links between adolescent pregnancy and education and employment opportunities, some private organizations in countries such as India, Mexico and Nigeria have worked to improve girls' self-esteem, delay pregnancy, and promote other opportunities for girls. In other countries, comprehensive efforts to improve adolescent sexual health have included legislation and community education to end traditional practices that are directly or indirectly harmful to the health of young women - such as female genital mutilation and child marriage.
Questions:
What is sexuality education? What should most sexuality education programs seek to achieve?
Answers:
Sexuality education is intended to improve knowledge and understanding of sexual development, human reproduction, and healthy sexual behavior among children and youth. The explicit aim of many sexuality education programs is to help young people practice responsible sexual behavior, including where appropriate, the delay of sexual activity. Programs have also sought to improve communications between youth, their parents and their partners.
Worldwide, youth are often poorly informed about sexuality. In a study in Sri Lanka, one quarter of youth surveyed thought a woman could get pregnant by wearing clothes previously worn by a man. Although many adolescents who use a contraceptive method practice rhythm or withdrawal, in two recent studies in Kenya and Mexico City, the vast majority of young people interviewed could not correctly identify the fertile period in a woman's menstrual cycle. Sexuality education promotes healthy and responsible sexual behavior by providing basic, relevant information, as well as by providing a positive context for youth to discuss the emotional and physical aspects of sexual relationships.
Many sexuality education programs encourage youth to delay first intercourse. However, the results of studies evaluating the success of such programs in delaying sexual activity are mixed. In the United States, programs which only promote abstinence have generally not shown decreased rates of sexual activity, although such programs may be more effective with young adolescents who have not yet had sex. Overall, programs which encourage postponement of sexual activity while also providing information about safer sex and contraception appear to be more effective than those which promote abstinence alone. Sexuality education appears most effective in delaying first intercourse and encouraging contraceptive use among sexually active youth when introduced early, before young people become sexually active.
Some programs seek to help youth discuss sexuality more openly, by using storytelling, drama or role play to help youth communicate their feelings. Research in Africa sponsored by WHO, in which thousands of adolescents were asked to describe a typical first sexual experience, reveals a common experience of poor communication about sexuality between youth and their parents, as well as a lack of mutual discussion between youth in their sexual relation ships. In Ugkita, for example, a survey found that many youth were reluctant to use condoms, apparently because condom use was associated with prostitutes and could be perceived as a lack of respect by young men for their partners.
Sexuality education programs have also sought to promote the idea of responsible parenthood among adolescents. Young men are often neglected by sexuality education and pregnancy prevention programs despite their role in initiating intercourse and their influence on contraceptive use. Some programs have sought to address the issues young men have regarding contraception and to increase their sense of responsibility for pregnancy and fatherhood.
Questions:
What characterizes a successful sexuality education program?
Answers:
Effective sexuality education programs teach practical skills such as sexual negotiation, decision-making and life planning, in addition to providing basic information on human reproduction, contraception, STDs and AIDS. Ideally, such programs are specially designed to respond to adolescents' needs. Many existing programs, however, fall short of these standards.
Traditionally, sex education courses have emphasized reproductive physiology. But teaching practical skills, such as how to negotiate condom use or say 'no" to sex, is also important. Research suggests that knowledge alone is not enough to change sexual behavior - youth must understand the long-term consequences of unsafe practices and feel empowered to practice healthy sexual behavior. A "Life Planning Education" curriculum, developed by the U.S.-based Center for Population Options and adapted for use in a variety of international settings, helps adolescents plan for their futures as well as deal with sexual feelings and behaviors. The curriculum includes topics such as values, goal setting and decision-making, sexuality, contraception, AIDS, parenthood and employment.
More effective programs utilize participatory rather than authoritarian styles of teaching, encouraging discussion rather than moralizing about unmarried sexual activity. They employ teachers specifically trained to work with adolescents on sexuality issues and use educational materials that are culturally and age-appropriate. Peer education programs have been very effective, as trained youth leaders can be influential role models and credible sources of information about sexuality, contraception and other topics. Young people who are HIV-positive or have AIDS are particularly successful at reaching youth with messages about AIDS prevention.
Over the past decade, sex education or family life education programs have been widely introduced in schools around the world and, on a more limited basis, have tried to reach out-of school youth. Unfortunately, the content of many existing sexuality education programs is not relevant to the information needs of young people. Kenya's family life education program avoids words like vagina and uses animal rather than human examples to teach reproductive physiology. Other programs emphasize global demographic problems or caution against premarital sexual activity without providing basic information on practical ways to prevent pregnancy and disease.
Questions:
Do young people have any special needs with regard to contraceptive counseling and services?
Answers:
Adolescents often have special concerns about contraception which need to be addressed by family planning and health workers. Youth may require more extensive counseling than adults before they feel comfortable choosing and using a method. Given the high risk of STDs to adolescents, counseling should emphasize the importance of condoms - used alone or with other methods.
Numerous studies have shown why sexually active adolescents fail to use contraception. Adolescent sexual activity is often unplanned and infrequent - making routine contraceptive use less likely. Moreover, research shows that youth in a number of countries typically feel that planning for sex is bad, since it requires them to acknowledge that they are sexually active in the face of cultural taboos against such activity.
Adolescents may not understand their own personal risk of pregnancy or disease. They often know little about various contraceptive options or find contraceptives too difficult to obtain. Young people may have fears about the health risks of specific contraceptive methods, feel unable to negotiate contraceptive use with their sexual partner, or fear parental discovery and disapproval. In some countries, a significant proportion of married or unmarried youth may also desire pregnancy.
These broad concerns of youth can be addressed through counseling. Youth may want to discuss with trained counselors whether or not to be sexually active, whether they want to use contraception, how their partner feels, and how their parents might react In choosing a contraceptive method, adolescents generally require more information about basic reproductive physiology and contraception than most adults. Counselors also need to be sensitive to the needs of youth who may be engaging in homosexual activity.
With the exception of contraceptive sterilization and IUDS, which are not appropriate options for most youth, most available contraceptive methods are safe and appropriate for adolescents. Oral contraceptives are highly effective in preventing pregnancy and are considered safe for adolescent girls. However, hormonal methods in general do not provide protection against AIDS or most other STDS. Barrier methods, particularly latex condoms, offer adolescents some distinct advantages. Condoms are well suited for infrequent sexual activity and are often less expensive and easier to obtain than other methods. Most importantly, condoms provide a high degree of protection from HIV and many other sexually transmitted infections.
Once a method is chosen, adolescents, like other family planning clients, need to be counseled about possible side effects and appropriate follow-up care. Health workers need to help youth assess their risk of STDs and encourage condom use in addition to other methods, where appropriate. Whatever method is chosen, health personnel should take time to respond to questions and fully explain correct use, to avoid potentially harmful misconceptions. In Mexico City, for example, a survey of young women found that 60 percent incorrectly believed a condom could be used more than once.
Questions:
What types of programs have been effective in addressing the special sexual health needs of adolescents? And what strategies have been successful in reaching out-of-school youth?
Answers:
Different models have been developed AO to provide sexual and reproductive health services to young people. They include clinics which provide reproductive health services only, as well as centers which provide contraceptive services as one element of more comprehensive activities for youth. Programs which provide education and contraceptives at the community level represent yet another model. Special programs have also been developed to reach specific groups, such as married adolescents or street youth.
Special clinics for young people are more common in Western Europe, the United States, and Latin America. School-based clinics typically address a range of student health needs, of which reproductive and sexual health is just one element; contraceptives are often offered on a referral basis only. More specialized reproductive health clinics for adolescents generally provide contraceptive counseling and supplies, and perhaps treatment of STDs and other reproductive tract infections among other services. More recently, special clinics for youth have been established by national family planning associations in several countries in Africa and Asia, including Burkina Faso and Indonesia.
Where special clinics for adolescents have not proved feasible, some existing family planning clinics have introduced separate hours, entrances, or other modifications to make services more acceptable to young people. Hospital-based postpartum and post-abortion programs have also been developed to serve adolescent mothers who want to delay a subsequent pregnancy. These programs have sometimes extended services to other adolescents as well, through word-of-mouth or more formal outreach efforts.
A second model of service delivery has been the multi-service youth center, offering reproductive health services in combination with a broad range of recreation, education or employment-oriented activities. Addressing reproductive health within a more comprehensive program tends to be more socially acceptable, and recreation and other activities often attract young people to the centers. Such centers tend to require more resources, serve small numbers of youth, and focus less on reproductive health. However, successful programs such as CORA (Centro de Orientacion para Adolecentes) in Mexico City and the Women's Centre for pregnant adolescents and young mothers in Kingston, Jamaica, demonstrate the value of a comprehensive approach.
Community-based outreach programs represent a model that generally requires fewer resources. These programs usually include educational activities, and in some cases, contraceptive distribution and clinical referral. Community outreach programs tend to be most effective when youth are involved as peer educators and counselors, as in the Gente joven program in Mexico. Large-scale educational campaigns have also used popular media such as comic books, posters, films, radio and television to communicate important sexual health messages to youth. To be effective, such campaigns also need to inform youth about where to obtain actual services.
Most of these programs can be adapted to serve youth who are both in and out of school. Services aimed at out-of-school youth, however, must be designed to be easily accessible to them and may involve a variety of approaches. In the CORA program in Mexico City, youth leaders are trained in factories as well as schools to be peer educators and distribute barrier methods. Casa de Passagem, an organization working with street girls in Recife, Brazil, provides reproductive and other health services along with income earning opportunities, shelter, and counseling.
Questions:
What do we know about the impact and success of these programs in meeting the sexual health needs of young people? What kinds of programs are most cost effective?
Answers:
Successful programs for adolescents carefully assess and respond to local need; involve youth in various aspects of program planning, implementation and evaluation; and reach out to community leaders and parents for involvement and support. Few programs, especially in developing countries, have been rigorously evaluated for cost-effectiveness and impact. However, experience suggests a combination of specially-targeted approaches may best meet the needs of different groups of youth.
Successful adolescent reproductive health programs are strongly commited to involving young people, using youth on advisory committees in the planning process and as educators, promoters or counselors in program implementation. In Zimbabwe, for example, educational materials for young people were developed following group discussions with youth and a national survey of young adults.
Involving the community - including influential community leaders - improves the likelihood that a project will be effective and sustainable. Parents, other involved community members, and youth themselves can be important sources of support in the controversial area of adolescent reproductive health. Introducing new programs often requires political sensitivity. The MUDAFEM project in Nigeria, for instance, initially limited services to students at the University of Ibadan - with the intention of eventually extending them to younger age groups.
Less tangible factors linked to program success include the quality of relationships program staff-establish with youth. Programs which organize around specific goals and messages may also be more effective at promoting healthy sexual behavior than programs that merely make services available. A recent evaluation of six school-based health clinics in the United States, for example, found that clinics which emphasized the themes of pregnancy and AIDS prevention were more effective at increasing pill and condom use than clinics that only provided services.
Overall, there has been little formal evaluation of adolescent programs, in part, reflecting the resource constraints facing most fledgling programs and the priority such programs have given to direct provision of services. More evaluation is needed to understand which youth these programs are serving and what makes them effective. However, experience suggests that providing services through a variety of different programs may be important.
For example, a study in Monterrey, Mexico, found a community based peer program to be one-third less costly per contraceptive user than a multi-purpose youth center. However, the youth center attracted and served young unmarried girls as well as boys while the community program primarily served boys, suggesting that the two approaches were complementary. Considerations other than cost may, therefore, be important in efforts to make services more widely available to youth.
Sebetulnya, apa yang terjadi hingga akhirnya remaja memiliki dunia sendiri. Mengapa para remaja seringkali merasa tidak dimengerti dan tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya? Mengapa remaja seolah-olah memiliki masalah unik dan tidak mudah dipahami, sehingga membuat orang di sekitar menjadi sangat membatasi reaksinya terhadap lingkungan? Sampai kapanpun semua itu akan selalu menjadi pertanyaan-pertanyaan yang bersifat klasik. Didasarkan atas kepercayaan orang-orang terdekat mereka, tentu saja akan memiliki kepuasan tersendiri karena aksen-aksen yang dilontarkan oleh mereka ke dalam lingkungan mendapat dukungan penuh. Artinya, setiap orang punya persepsi yang berbeda-beda di dalam mengartikan pernyataan-pernyataan tersebut, tentu saja tidak hanya sebatas pada pertanyaan-pertanyaan ringan dan berat. Belum tuntas bila tidak dilengkapi dengan jawaban-jawaban yang memberikan pandangan khusus bagi kehidupan pribadi anak remaja. Karena itu penjelasan lebih dalam sepertinya hanyalah ada dalam diri pribadi sebagai orang terdekat dengan mereka. Concernnya ialah kita perduli pada generasi, berarti kita adalah orang yang mampu menemukan jawaban sebenarnya yang memang sangat dibutuhkan.
Kualitas dan kuantitas perhatian sebenarnya tidak selalu membuat anak remaja secara utuh mengharapkannya. Namun kualitas dan kuantitas perhatian saja tidak akan lengkap bila tidak ada pengertian dari orang terdekat dengan mereka. Apalagi ketika usia anak remaja tersebut sudah berada digaris transisi gaya hidup anak remaja masa kini. Apa yang akan dikatakan oleh orangtua bila anak remaja kesayangannya bertingkahlaku diluar kewajaran interaksi sosialnya. Akibat sebagai hasil dari proses adalah akan menjadi beban yang sulit dilepas dari dalam kepala orangtua. Namun, bila adanya keseimbangan antara kualitas, kuantitas perhatian dan pengertian orangtua tidak akan merasa terbebani oleh permasalahan anak remaja kesayagannya terutama antara personal dengan lingkungan.
Kamis, 11 September 2008
Apakah Anak Anda Ataukah Anda Sendiri

à Menyelami Karakter Anak Di Masa Peralihan
à Masa Pencarian Identitas
à Siapakah Yang Harus Mengajarkan?
à Patutkah Kita Menyalahkan Anak Kita?
à Pilihankah Atau Hanya Sekedar Gaya Hidup
à Patutkah Kita Mempercayai Kehidupan Anak Kita Di Luar Rumah?
à Memahami Anak Usia Remaja
à Mereka Butuh Didengar
à Menelaah Seberapa Aktif Anak Kita
à Abstraksi Yang Berubah Menjadi Realitas
à Perlukah Kita Membagikan Sebagian Dari Rasa Pengertian Berharga Yang Kita Miliki Pada Orang Yang Membutuhkannya?
Remaja, adalah kata pertama yang di tulis dalam buku ini. Tentu saja semua orang tahu remaja. Yang pasti kata ”remaja” bukanlah istilah baru, semua orang pernah berada di dalamnya, yaitu tahapan usia produktif (usia perkembangan) untuk mewujudkan tingkah laku sosial yang baik. Karena usia remaja adalah usia yang sangat mendominasi tingkahlaku sosial (pergaulan) sehingga semua orang tahu siapa remaja itu. Tentunya yang membuat orang akan selalu mengingat anak tersebut (remaja) karena tingkah lakunya. Bagaimana menurut kita? Mungkinkah sisi kehidupan remaja sangat menarik sekali untuk dijadikan objek pembicaraan kali ini.
Saya pikir, sebaiknya kita bicarakan hal tersebut sebagai sebuah pencerminan dan ajang untuk mengingat kembali masa-masa remaja kita dulu. Remaja atau istilah yang diberikan pada tahapan anak usia 12 tahun sampai dengan 16 tahun (remaja tahap awal) dan usia 17 tahun sampai dengan 21 tahun (remaja tahap akhir). Dipastikan tahap awal adalah bagian sangat prioritas sekali. Biasanya kecemasan orang tua terjadi tidak hanya saja pada saat mengandung, melahirkan (kondisi anak normal atau abnormal), termasuk perhatian terhadap pertumbuhannya.
Pertumbuhan yang dimaksud adalah mental, tingkah laku dan banyak lagi yang menyangkut tumbuh kembang sang anak. Sampai pada usia remaja, menjadi bagian terpenting untuk diperhatikan oleh orang tua. Mengapa demikian? Karena usia remaja memiliki sisi sosial yang sangat berbeda dari tingkatan-tingkatan umur lainnya. Termasuk pola pergaulan yang dianut dalam kehidupannya. Mereka mulai berupaya untuk mencari atau menentukan karakteristik yang ada dalam diri. Tidak jarang mereka memiliki keinginan untuk menonjolkan sedikit kemampuan ”menarik” yang menurut lingkungannya itu sangat membuat mereka merasa bangga. Namun tidak sedikit pula dari remaja-remaja tersebut memilih, lebih baik lingkungan yang berperan besar dalam pembentukan karakter pribadi mereka daripada harus diatur oleh orangtua.
Bila kita kembalikan kondisi seperti tersebut terutama pada orang tua. Bagaimana sebenarnya posisi orang tua pada saat itu? Kalau kita merasa sudah menjadi orang tua, berarti harus mengerti secara serius bagaimana kondisi perilaku sang anak. Pertanyaan barupun akan muncul lagi, apakah kita salah satu dari jutaan orang tua yang baik terhadap anak? Tentu hanya pribadi kita sendiri yang tahu dan mengerti bagaimana seharusnya jawaban yang diberikan, dan siapa kita sebenarnya!!!. Hal ini bukan berarti penulis mau, memberikan kritikan terhadap orang tua sebagai salah satu faktor lingkungan yang mendorong timbulnya kesempatan anak ingin berbuat diluar harapan (negatif acts). Bukan pula penulis berada dipihak anak (remaja bermasalah atau tidak). Keyakinanku hanya satu bahwa orang tua yang lebih mengetahui, mengerti dan memahami betul karakter anak remaja kesayangannya secara baik. Hal ini, tentu saja tidak melupakan keinginan si anak, dan memberikan perhatian guna mendorong mereka untuk terus berkreasi dan bertingkahlaku (bersosialisasi) secara baik. dengan rekan ataupun orang-orang yang lebih dewasa dari si anak. Namun tidak tertutup kemungkinan sebagian orang ada yang akan mengatakan ”wajar-wajar saja, orang tuanya juga seperti itu”. Memang rumit bila harus mencoba untuk memposisikan karakter anak remaja sebagaimana adanya, apalagi bila didalamnya ada orang kesayangan mereka yang masih melakukan hal sama persis dengan yang anak remaja lain lakukan.
Apakah mereka ini sudah tergolong kedalam usia remaja? Kalau anda mengatakan sudah, artinya saat ini juga semua ketidakwajaran dalam diri anda harus berubah. Bila belum maka yang dikatakan pada nurani kita bahwa ”aku harus bersiap-siap”. Itu adalah awal dari cerita yang akan digarap menjadi berbagai macam jenis pertanyaan yang ada dalam tulisan ini. Kalau memang belum waktunya, usahakan tidak mengatakan dan menjawabnya sekarang, tapi coba pejamkan mata anda sejenak, bayangkan apa yang sedang anda pikirkan, rasakan saat ini juga, dan cobalah simpan kedalam hati kemudian berikan kesempatan pada otak untuk berpikir secara seimbang. Apa yang anda rasakan? Apa yang anda rasakan ketika bayi yang ada dalam pelukan memanggil ayah ataupun ibunya untuk pertama kali, namun saat ini semuanya telah berubah menjadi anak remaja yang nyata dan berada tepat dihadapan anda?. Menghindari titipan yang ada di hadapan kita bukanlah cara yang tepat untuk dilakukan, karena anak remaja kesayangan kita adalah wujud nyata dari kepribadian orangtuanya, yaitu kita sendiri. Pelajarilah karakter anak remaja kesayangan dengan baik, dan penuh kelugasan. Setiap waktu mereka akan tampak lain dari hari kemarin, untuk itu jadikan pengamatan anda terhadap mereka merupakan satu dari banyak hal yang harus anda berikan.
Rasanya sangat memungkinkan sekali bila mencoba untuk menyampaikan contoh sederhana dalam pembentukan karakter dan memotivasi diri sang anak. Peniruan yang dilakukan secara individual merupakan suatu upaya yang mengarahkan kepada pembentukan karakter. Tentu saja tidak terlepas dari keinginannya menirukan salah satu karakter lingkungan yang menurut sang anak adalah bagus dan menjanjikan masa depan. Saya pikir tidak ada salahnya bila mereka memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu yang mereka anggap baik dan bila mereka merasa mampu sekali menerimanya. Bukan berarti orangtua harus selalu lepas tangan dan menyetujui keinginan anak, tapi kalau memang pilihan anak adalah sangat menguntungkan, apalagi tidak mengarah pada timbulnya implikasi pada kehidupan pribadinya. Hal tersebut bukan masalah besar, sejauh orangtua masih mempercayai pilihan anak remaja kesayangannya.
"Sari kenapa kok kamu pake bajunya begitu?" tegur Sita sang ibu yang berumur 36 tahun, ketika melihat aktivitas sang anak di kamarnya. Kerjaan ini dilakukan oleh anak perempuannya yang baru berusia 10 tahun. Sisi terlihat sedang bersolek di depan cermin, ia menggunakan pakaian ala Christina Aguilerra, itu lho bintang pop yang acapkali memperlihatkan bagian perutnya di setiap kali show maupun tampilan dalam videonya. Jawaban anak sangat membuat Sita merasa tidak nyaman untuk mendengarnya “Kan sekarang ini lagi ngetren Ma! Memang kamu lagi menirukan siapa?” Masa mama tidak mengenali penampilanku sekarang seperti siapa? Mamakan suka nonton TV, pastinya-kan penampilanku saat ini kayak Christina,” kata-kata celetukan yang keluar dari mulut Sari. Meskipun terulas senyum di wajah Sita, namun rasa cemas juga terbersit, apakah tingkah Sari sesuai dengan usianya, padahal saat ini dia baru saja menginjak umur 10 tahun. Ketakutan diri Sita menjadi sangat tidak mungkin terluapkan pada waktu itu. Sita mempertanyakan, apakah benar ini adalah anakku, yang kukenal 10 tahun yang lalu? Dercak kagumku ketika melahirkan dia, tapi kenyataannya saat ini dia sudah mulai menunjukkan satu tingkatan gaya hidup yang semakin sulit untuk di komentari lagi. Terasa bertambah berat beban yang dipikul saat ini, ketika Sita melihat tingkahlaku anak kesayangan sudah mulai memberikan keseimbangan baru bagi gaya hidupnya kini.
Pada dasarnya usia 8 tahun sampai dengan 12 tahun disebut sebagai masa tween challenge (masa antara). Atau seringkali orang mengatakannya sebagai jembatan penghubung antara masa kanak-kanak, yaitu usia 5 tahun sampai dengan 8 tahun dan usia 8 tahun sampai dengan 12 tahun. Menurut seorang ahli Psikolog perkembangan anak asal universitas Harvard, Amerika, Dr. Kutner Ph.D, mengatakan terdapat perbedaan lingkungan sosial antara anak usia 5 tahun sampai dengan 8 tahun dan dengan anak usia 8 tahun sampai dengan 12 tahun. Mulai usia 10 atau 11 tahun, pertemanan anak diwarnai dengan saling berbagi nilai dan persepsi mengenai dunianya. Salah satu cara mereka mendapatkan informasi.
Tak ayal lagi, ini adalah bagian yang menjadi gap mempengaruhi persepsinya terhadap orangtua mereka. Bagaimana seharusnya orang tua mendidik mereka dalam tingkatan umur yang berbeda?. Memang kondisi ini membuat tanda-tanya-besar dalam mendidik anak seusia tween challenge, karena banyak prinsip-prinsip hidup baru dalam karir mereka menjadi sulit untuk dimengerti oleh orangtua. Hanya keprihatinan saja yang selalu terlimpahkan bila melihat kondisi sang anak. Sebetulnya ini sangat membuat orangtua merasa bingung, siapa yang akan lebih dipercaya oleh anak. Mungkin saja yang ada dalam kepala kita adalah mereka tidak akan pernah mengakui bahwa pendapat orangtuanya yang disodorkan pada mereka bukan pilihan baik bagi kemajuan tingkatan umur anak usia tween challenge dan betul-betul harus mereka jalankan.
Sebenarnya banyak cara untuk melakukan pendekatan-pendekatan terbaik agar mereka merasa yakin, sehingga dimata mereka orang tuanya benar-benar sangat baik terhadap aktivitas yang telah menjadi pilihan, yaitu menciptakan persepsi baru mengenai dunianya. Kutner menjelaskan, orangtua memerlukan pendekatan ekstra pada anak usia ini karena adanya perubahan psikis dan kemampuan berpikir. Menjadi bagian pengkondisian yang sulit ditembus karena banyak lapisan-lapisan tipis nan-gelap dibalik semua perubahan psikis tersebut.
Sebelumnya, anak hanya akan melihat sesuatu secara hitam-putih saja, namun di usia akhir pendidikan dasar, saat ini mereka mulai mengenal ’abu-abu’, artinya mereka tak hanya berpikir dari dua sisi saja tapi telah mampu menganalisa dan menilai implikasi ringan dari banyak sisi. Perubahan-perubahan seperti ini memberikan kesempatan dalam diri anak secara perlahan-lahan menjadikan pribadi yang mandiri dan mampu memecahkan masalahnya sendiri melalui berbagai analisa kebenaran yang ada dari dalam dirinya. Tentu saja analisa yang terlontar ke luar dari dalam mulut mereka bukanlah analisa sempurna seperti yang ada dalam bayangan kita, namun seiring waktu semua itu akan tercipta sendiri dengan tidak mungkin dapat diprediksi dalam waktu singkat. Namun analisa yang telah mereka lontarkan adalah awal dari kemengertian dan kemampuan anak memahami apa yang seharusnya dilakukan bagi kemajuan perkembangan intelektual pribadinya.
Kekhawatiran yang sifatnya sangat membuat orang tua terus dihantui oleh rasa ketakutan, sehingga menganggap anak di masa kini tidak lagi patuh dan antusias terhadap hal-hal yang diajarkan orangtua atau dapat dikatakan cenderung tidak perduli bahkan sampai pada tidak memperhatikan apa yang disarankan oleh orang tua. Sehingga orangtua seakan-akan menciptakan lapisan tipis gelap yang sulit ditembus oleh si anak. Sepertinya kekhawatiran tersebut tidak akan selamanya terjadi (sebuah pengharapan).
Keperdulian orang tua saat ini, tentu saja lebih diprioritaskan pada seberapa besar persentase kebutuhan-kebutuhan ekstra-ilmu untuk membimbing anak, termasuk dalam mempersiapkan ilmu yang dibutuhkan pada saat waktunya tiba, terutama pada saat anak memasuki masa pubertas. Pengamatan dan penyelidikan terhadap aktivitas anak menjadi salah satu faktor pendukung untuk menemukan bagaimana sebenarnya sifat sang anak, sekaligus mengetahui apa yang menjadi kekurangan dalam aktivitasnya.
Anak mungkin akan terlihat sangat acuh sekali pada perkataan orangtua, tapi tidak perlu bingung memaksakan agar mereka harus mau mendengarkan apa yang kita katakan, karena sebenarnya mereka mendengarkan kita. Walau dipercaya ada sebagian dari mereka memang berpikiran seperti itu, tapi tidak semuanya benar. Malah mereka sering mencoba menjiwir mulut mereka dan menirukan sebagian dari apa yang dikatakan oleh orang tuanya.
Ada penilaian-penilaian strategis bagi mereka bila ingin mengakui bahwa semua yang dikatakan orangtua adalah benar. Mereka menilai masukan dari orangtua menjadi sangat murah sekali, membuat mereka merasa bosan bila harus mengakui bahwa semua itu adalah benar. Untuk itu strategi apa yang harus dilakukan oleh orang tua sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan masalah kebosanan sang anak terhadap wejangan dari orangtua. Apakah orangtua hanya diharuskan mengamati saja, tanpa perlu adanya sedikit arahan dan nasehat yang tentu saja membuat mereka akan merasa diperhatikan oleh orang tuanya. Tetapi di sisi lain apakah itu adalah salah satu cara yang efektif untuk dilakukan pada anak remaja kesayangan?
Diperkirakan sebagian kecil dari komunitas anak remaja saat ini jarang berani terbuka untuk menceritakan segala hal kepada orangtuanya, tapi tidak semuanya, ada juga yang tidak mengadopsi karakter seperti itu. Menurut Kutner dari hasil pengamatannya dia berpendapat bahwa biasanya anak tidak terbuka ketika membicarakan tentang kehidupan sosialnya, seperti teman sepermainannya dan seks. Menurut mereka itu semua terlalu pribadi sekali, selain itu adapula yang menganggap tabu bila hal tersebut diceritakan pada orang lain.
Kondisi yang sangat menyulitkan apabila masih menganggap hal itu tidak nyata dan semakin jauh dari ketidaknyataan. Anak mengalami sensasi yang berbeda dalam kehidupannya, seperti anak mulai tertarik dengan lawan jenis atau perubahan-perubahan biologis yang dialami. Hendaknya sebagai orangtua jangan langsung meremehkannya. Sebelum anak nyaman membicarakan hal-hal tersebut sebaiknya ajaklah anak terlebih dulu untuk membicarakan hal-hal yang lebih sederhana, seperti dampak negatif obat-obatan, kekerasan, dan semacamnya. Itu adalah langkah awal untuk menarik anak agar memiliki kesadaran sendiri untuk terbuka pada kita, kemudian yakinlah tanpa disadari anak akan menceritakannya.
Kondisi ini seringkali terjadi. Sebagai orangtua yang baik tentu saja akan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah tersebut, atau bahkan mungkin bagaimana cara masing-masing dalam mengatasi permasalahan ketidakterbukaan anak pada orangtua. Memang adakalanya sangat diharapkan berbagi pengalaman dengan orangtua lain yang masih sangat membutuhkan pengalaman-pengalaman dari kita yang sudah berpengalaman.
Sebaiknya orangtua memiliki kehati-hatian terhadap anak, karena anak di masa kini menjadi lebih sensitif. Sehingga dibutuhkan trik untuk mendekati anak (kita harus mencari waktu yang tepat dan sela waktu yang memungkinkan untuk mengajak mereka percaya pada kita). Sebaiknya kita bisa memanfaatkan saat-saat santai sebagai pilihan waktu yang pas untuk menjalin komunikasi, misalnya saat anak perempuan kita membantu memotong sayuran di dapur atau saat anak kita sedang mencuci piring. Aktivitas santai ini sepertinya dapat menjadi pilihan yang sangat baik untuk melakukan pendekatan lebih dalam atas semua kebutuhan personal anak.
Begitu juga dengan anak lelaki, ada baiknya kalau coba minta suami ikut berperan dengan membicarakan hal-hal yang bersifat maskulin atau sekedar menanyakan pendapatnya, dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan waktu mencuci mobil bersama atau memperbaiki sepeda atau mungkin juga pada saat bersantai nonton TV. Akan menjadi sangat mudah bagi kita bila semua itu dianggap sebagai salah satu cara yang tepat untuk di lakukan.
Manfaatkan waktu tersebut secara optimal untuk mendengarkan cerita dan pendapat anak mulai dari hal-hal sederhana, tak hanya itu saja, coba kita kenali juga emosi si anak. Upayakan menghindari munculnya kebiasaan kita yang langsung berinterupsi jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan pemikiran kita, biarkan anak menyelesaikan kalimatnya. Begitu pula seharusnya yang dilakukan oleh anak, sehingga orangtua punya kesempatan memberikan pemikiran dan penilaian dari sudut pandang yang berbeda. Seperti kasus yang dialami Sita ketika melihat Sari bergaya ala Christina Aguilerra, jangan langsung menghakimi anak, namun arahkan ke hal-hal positifnya. Kita akan mengetahui kapan waktunya mereka mengerti. Sebetulnya ada sedikit kendala yang sangat mengganggu pikiranku saat ini, yaitu apakah pengkondisian semacam penyelesaian di atas tepat untuk kita samakan dengan kehidupan anak-anak yang ada di kampung. Tentu saja tidak sama, hanya saja dasar pengajaran terhadap anak itu sebenarnya bisa diterapkan menurut aturan keluarga masing-masing.
Hanya ada satu pemikiran yang sangat-sangat mengena. Menurutku, kondisi ini tidak mungkin akan cocok dengan iklim pengajaran yang seharusnya dilakukan oleh para orangtua di kampung. Karena kecenderungan kehidupan ekonomi yang terjadi membuat para orangtua di kampung tidak mungkin merekondisikan hubungan kehidupan keluarganya sebagai bagian bermasalah. Namun tidak salah pula bila ada sebagian dari mereka ingin mengadopsi bahwa kemajuan zaman adalah salah satu bagian mutlak yang harus mereka alami. Adakalanya perubahan zaman tersebut membuat mereka ikut tersisipi oleh pola-pola kehidupan masyarakat kota. Dimana masyarakat kota yang lebih dulu mengenal perubahan-perubahan dalam gaya hidup.
Lantas mungkinkah gaya hidup masyarakat kota menjadi salah satu keharusan bagi mereka. Tentu saja gaya hidup tersebut membuat kehidupan mereka relatif sangat membutuhkan konsultan psikologis dalam mengatasi setiap transisi gaya hidup sebagai implikasi menyulitkan bagi masyarakat kota. Akan lain sekali dengan gaya hidup orang kampung bahwa mendidik anak pada dasarnya bukanlah suatu beban mental, karena mereka cenderung mengikuti alur dan waktu yang memang harus mereka lalui. Jadi kemampuan bertahan anak akan jauh lebih mampu mengkondisikan dirinya ketika mendapatkan suatu masalah besar dalam hidupnya. Bertingkahlaku dan berani berbuat adalah salah satu bentuk kerja para orang kampung. Kadang-kadang kehidupan mereka jarang sekali dijadikan suatu konflik keluarga, karena rasa toleransi masih mendominasi diantaranya. Begitulah tradisi yang melekat dalam gaya hidup orang kampung.
Beranikan diri kita untuk menjelaskan semua kreativitas yang telah diperlihatkan oleh sang anak, dan beritahukan kepada mereka maksud penciptaan kreativitas yang mendominasi pemikirannya. Katakan pula bahwa menjadi seorang bintang terkenal itu memerlukan usaha keras untuk mencapainya, seperti berlatih koreografi dan vokal setiap hari. Dengan sedikit penjelasan saja, seperti di atas sebenarnya akan sangat membuat mereka harus memandang keinginan mereka tersebut adalah bukan sekedar pilihan semata, tetapi semua yang ada dalam pemikiran dan bayangan mereka akan semakin berarti.
Berikutnya memang mereka akan merasa kebingungan setelah mendengar masukan dari kita, namun itu adalah salah satu cara untuk mereka berani menentukan pilihan yang sebenarnya atau menyesuaikan diri dengan karakter yang seharusnya benar-benar pas dengan mereka. Ketahuilah bahwa mereka butuh sekali pencarian jejak dan jati diri secara serius. Dapat anda baca pada kilasan di bawah ini.
Jangan lupa pula bahwa sebagai orangtua, kita harus memegang erat anak kesayangan yang sekarang sedang dalam genggaman tangan kita, tapi tidak akan selamanya, karena genggaman tangan yang orangtua tancapkan ke dalam diri anak ada saatnya untuk dilepaskan. Yakinlah bahwa karena seiring ”waktu” pegangan dan ikatan itu pasti dan harus kita lepaskan. Yang ada dalam pikiran kita saat ini, adalah..........? Tanyakan saja dalam diri kita, apa gerangan pegangan yang harus dilepaskan bila sudah waktunya untuk dilepaskan!!!!.
Remaja berusaha keras mencari identitas diri, yaitu Apa yang orang lain pikirkan tentang aku? Siapa yang harus aku percaya? Berdasarkan catatan daftar kekhawatiran remaja sebenarnya tercatat begitu panjang pertanyaan-pertanyaan seputar pribadi, meliputi: penampilan, popularitas, kurang percaya diri, dan masa depan.
Ketika kita harus mengetahui pertanyaan dan bagian-bagian catatan tersebut membuat posisi kita saat ini harus memiliki motivasi diri yang lebih tinggi, karena banyaknya bagian kekhawatiran yang tercatat dalam buku harian remaja. Setelah kita membaca isi dari daftar dan catatan buku harian remaja, yang kita ketahui ialah ”ini adalah nyata, bukan sesuatu yang tidak mungkin aku mengerti”. Ternyata sangat panjang sekali jalan yang harus mereka lalui demi penciptaan diri lengkap dengan upaya untuk memiliki popularitas pada usia matang nantinya.
Usia matang yang sangat ditunggu-tunggu sepertinya dapat membuat semua orang di sekitarnya akan merasa sangat khawatir. Ini bisa terjadi kapan saja dan dimana saja, karena perubahan begitu cepat yang dirasakan dari dalam diri sang anak akan menjadi dominan sekali untuk membentuk perilaku kebebasan yang mereka harapkan. Dari kebebasan yang mereka dapatkan ini akan menjadi langkah-langkah pengakuan remaja tanpa mempertimbangkan tindakan-tindakan yang mengena dengan lingkungan, atau bahkan akan sangat nampak sekali ketimpangan tersebut pada saat remaja memilih untuk berkolaborasi ke dalam abnormalitas tindakan yang ada dilingkungannya.
Seorang teman bagi anak di usia remaja menjadi sangat penting. Kedekatan dengan teman dan saling mengakrabkan diri sesama penikmat kebebasan akan membuat mereka merasa nyaman. Mereka lebih memilih untuk menjauhi penolakan dan kritik dari anggota kelompoknya. Pada dasarnya mereka akan sangat merasa semua itu begitu menyakitkan dan dapat membuat remaja merasa tidak percaya diri.
Pada saat yang sama pula, mereka pikir ini adalah satu bagian penting dalam hidup yang sangat membuat mumet sampai akhirnya mereka merasa bahwa kehidupannya berada dalam tekanan bila prestasi akademik adalah suatu keharusan bagi seorang remaja berpendidikan. Mengapa harus akademik yang menekan mereka? Apakah kita mempunyai jawaban sendiri. Sebagai orang tua yang baik terhadap anak, bahwa intelektualitas anak bukan akademisi saja yang harus benar-benar ada dalam kepala dan jiwa mereka, namun rasa kritis adalah bagian yang sangat memungkinkan membuat mereka merasa kehidupannya saat ini benar-benar masa yang sangat sulit, bila sebagai orangtua telah mengetahui potensi apa yang harus diadopsi si anak. Tentu saja ketika krisis ini terjadi, mereka sangat membutuhkan kita orangtua/orang terdekat mereka agar tetap mempercayainya. Karena kepercayaan yang ada dalam diri mereka saat itu terasa membebani kehidupan pribadi.
Kekhawatiran akan membuat waktu setiap harinya terasa sangat panjang sekali. Untuk itulah mereka sangat membutuhkan kita sebagai pembangun rasa percaya diri mereka. Selain itu, tanpa ada sedikitpun orang terdekat mereka yang mempercayainya, suasana seperti tersebut akan sangat membuat mereka merasa terpojokkan sekali. Apalagi kalau terjadi persaingan yang tidak sehat dengan teman-teman terdekatnya. Semua itu menjadi sangat membuat kekhawatiran dan kepercayaan diri sang anak termasuk dalam daftar kehidupan dan menjadi lebih panjang.
Mereka akan selalu merasa bahwa hidup yang dijalaninya saat ini sangat berat sekali, karena kehidupan yang dijalani sebagian besar adalah jalan-jalan pintas kehidupan yang cenderung membuat mereka menjadi tertindas. Begitu besarnya perhatian kita sebagai orang tua akan membuat mereka tetap berada pada kondisi memiliki kepercayaan diri yang tidak pernah mengambang.
Psikolog dari Universitas Indonesia, Shinto B. Adelar menambahkan, jika anak terlihat mencontoh perilaku buruk, sebaiknya bila kita tidak setuju bahaslah dengan menggunakan bahasa tubuh yang rileks, namun secara prinsip tidak mengurangi keseriusan kita terhadap mereka. Tak ada salahnya juga menggunakan bahasa yang humoris dalam menyampaikan ketidaksetujuan kita. Misal ketika melihat anak memakai baju ala Christina, kita bisa menimpali dengan santai ”Wah nanti anak mama bisa masuk angin, karena bajunya kurang bahan. Bagaimana tu kalau nanti anak mama masuk angin, kasihan sekali anak mama” sehingga masukan akan lebih mudah diterima anak.
Berikan kebaikan seutuhnya pada anak kita, jangan pernah merasa memiliki kemampuan untuk membohongi anak, karena lambat laun mereka akan merekam semua itu dalam waktu lama, ”khawatir” jika suatu saat kebohongan kita ketahuan oleh sang anak. Jangan sampai anak malah jadi takut terbuka pada orangtua dan akhirnya akan menjadi bagian yang menyakitkan bagi mereka, yaitu anak akan merasa kehilangan sumber informasinya dari orang keakungan mereka.
Kepercayaan diri mereka pada orang yang sebelumnya sangat mereka harapkan. Harapannya ialah orang tersebut merasa bangga karena telah dapat mencurhatkan sebagian besar perasaan yang ada dalam diri anak menjadi tidak mungkin disinggahi oleh mereka. Ini semua menjadi kendala besar bagi kita sebagai orang tua. Jangan sampai kepercayaan tesebut tertanam sampai mereka berusia di atas remaja, dikhawatirkan dikemudian hari mereka tidak akan merasa memiliki orang tua yang baik dalam hidupnya. Perbaikilah komunikasi antara anak dan orang tua, serta berikan informasi terbaik bagi kebutuhan perkembangan emosional sang anak. Ciptakan suasana hubungan yang rileks dan funs diantara kedua belah pihak sehingga dengan sendirinya akan tercipta rasa percaya diri anak pada kita atau bahkan sebaliknya.
Tentu saja koreksi dari dalam diri remaja saat usia seperti ini menjadi simpang siur. Koreksi seperti apa sebenarnya yang harus ditujukan pada mereka? Apakah ada bagian khusus dari koreksi tersebut? Menurut informasi yang beredar tentu saja ada, karena sebuah koreksi tidak ada, maka akan terjadi kesimpangsiuran dalam diri si remaja dan akhirnya remaja menjadi sangat sulit dikendalikan.
Ketika koreksi terjadi, maka pada saat itu pula keperdulian kita memuncak, dan biasanya cenderung pada ketidakwajaran membuat perubahan perilaku mendasar dari dalam diri sang anak. Bagi remaja yang memiliki kelabilan luar biasa dalam pencarian untuk menentukan karakter yang harus ada dalam kehidupan mereka, tentu saja mereka merasa semua keperdulian tersebut sangat menekan freestyle on youth life. Inilah yang namanya upaya penciptaan dan pencarian jati diri sang anak.
Tumbuh kembang bukan berarti kita bisa berpikiran lebih baik (harapan sebagai orang tua). Karena seringkali kita keteteran bila mendapatkan anak-anak berada pada usia remaja awal. Namun, menurutku sebenarnya tidak hanya usia remaja yang sering membuat banyak masalah pribadi. Kita sebagai orang tua yang merasa memiliki sepenuhnya atas kekhawatiran kebebasan yang ada dalam diri mereka menjadi sangat mendominasi aturan hidup yang harus mereka miliki.
Aku yakin itu adalah salah satu cara ataupun salah satu keputusan yang tepat bagi kita untuk menghindarkan remaja tersebut dari kontak sosial. Tentu saja kontak sosial yang dimaksud disini ialah yang masuk dalam kehidupan bebas. Pelesetan-pelesetan sebagai timbal balik yang disampaikan oleh mereka dari kehidupan sebenarnya merupakan harapan sangat primer sekali bagi kebiasaan dalam berperilaku keseharian remaja.
Kehidupan bebas ini cenderung akan menjadi pilihan terbaik bagi kehidupan mereka. Kita patut menyadari itu semua bahwa tidak sedikit dari kehidupan remaja terbuang begitu saja, akhirnya terbawa ke dalam perubahan tingkatan masa, yaitu usia remaja ke usia dewasa. Sepertinya kehidupan dewasanya seperti apa, kita akan melihat reaksi luar biasa dari aktivitas yang mereka luapkan dalam perubahan tingkah laku tersebut. Mereka akan cenderung menguasai dunia, begitulah kata mereka. Dalam kondisi seperti ini anak atau kita tidak bisa lagi mengatakan mereka adalah anak-anak ataupun sebaliknya kebanyakan dari mereka sangat sulit sekali mengakui bahwa pribadinya benar-benar dapat diterima di dalam lingkungan keluarga.
Pilihan kata tersebut akan disampaikan oleh anak-anak remaja, karena mereka telah memiliki kekuasaan untuk menentukan jalan hidup melalui gaya mereka sendiri. Membuat aturan hidup keluarga akan semakin mengarah pada ketidakmungkinan lagi berada dalam gaya hidup remaja tersebut. Percaya atau tidak semua itu adalah beban tersendiri sebagai orang tua, dimana seharusnya yang memiliki kekuasaan seutuhnya dalam penerapan aturan ataupun gaya hidup yang harus ada dalam diri sang anak adalah orangtua malah sekarang berubah dengan tidak wajar. Lagi-lagi bukan kondisi yang sangat memungkinkan kita untuk memutuskannya secara perang mulut ataupun adu kekuatan, tapi sebaiknya adulah kepala kita berdua dengan anak kita. Jika kita merasa memiliki mereka berarti kita telah siap dengan berbagai pemenuhan isi kepala sebagai solusi dan toleransi pemecahan masalah ataupun bukti bahwa aturan-aturan terbaik telah ada dalam gaya hidup si anak.
Padahal, kita sebagai orang yang memiliki norma-norma kehidupan sosial (sebagai orang tua) dalam keluarga, tentu saja dengan sangat mungkin akan mengatakan pada diri sendiri tentang anak-anak ”tidak menginginkan sekali bila anak remaja keakungan kita menjadi orang nomor satu-alias-yang pertama kali menganut sistem tersebut dalam kehidupan keluarga, apalagi mempercayakan sebuah kebebasan dapat menjadi isme baru bagi perubahan kehidupan keluarga”.
Kondisi yang sangat memberontak sekali, begitulah pikiran terdalam kita. Aku yakin sekali ketidakpercayaan kita semakin besar dalam menciptakan dan mengakui bahwa norma-norma yang dianut oleh sang anak akan menjadi menempel dalam kesenangan kehidupan keluarga. Itu adalah bagian mustahil dapat diwujudkan dalam keluarga yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga dengan tanggung jawab moral disiplin keluarga yang tidak normal.
Percaya atau tidak pada keadaan sebenarnya itu adalah salah satu aspek penting yang juga akan ada dalam kepala kita sebagai orang tua. Memang itu adalah awal dan akhir dari kekhawatiran diri kita sebagai orang tua. Terlebih kepercayaan tersebut ditujukan pada anak remaja yang telah dilihat dan memang dirasakan oleh orang tua, bahwa anak remajanya tersebut adalah bagian penting dalam kehidupan keluarga. Akan ada kata yang keluar dari mulut sang anak ”namun sebaliknya” sekarang ini kita cenderung tidak akan merasa perduli lagi terhadap aksi yang dilakukan oleh sang anak.
Kenyataan luar biasa yang akan kita temui-sebagai-bagian dari kekurang-kompakan-kita dengan penghuni rumah alias sulitnya mengadakan hubungan komunikasi, khususnya berupa pembicaraan empat mata atau enam mata atau sama-sama merasa saling memiliki hak yang wajar berupa hubungan baik antara orang tua dengan anak remaja kita. Semua faktor akan menjadi pertanyaan besar dalam diri kita. Karena faktor-faktor pengaruh tersebut adalah bagian penting dari prosedur kerja, ketika kita harus menganalisa ulang apa gerangan yang terjadi dengan keluarga kita saat ini.
Begitu memuncaknya kekhawatiran diri kita membuat personal menjadi sangat tidak mungkin dapat mengatasi permasalahan tersebut. Berarti kita perlu mengadakan konsultasi dengan orang yang memiliki kemampuan untuk mencari jawabannya. Teman terdekat atau bahkan akhirnya Psikolog akan berada dalam lingkungan permasalahan kita saat itu juga.
Ketegasan dalam memilih untuk menganalisa merupakan perwujudan bentuk kepercayaan diri kita dalam menciptakan komunikasi dan hubungan yang baik, sehingga percaya diri secara prinsipal dapat dibuktikan. Ini adalah bukti bahwa kita yakin semuanya pasti akan terungkap. Memang patut mempertahankan kebijakan yang ada dalam keluarga, bukan malah sebaliknya kita harus mengakui dan menyadari semua itu sebagai beban moral yang tidak ada batasannya. Karena bila kita tidak memiliki rasa sadar diri, jangan sampai menyesal bila dalam waktu singkat kita harus mengikuti isme baru yang dibawa masuk oleh sang anak ke dalam lingkungan keluarga. Kita akan terus-terusan merasa tertekan bila melihat perilaku sang anak yang tidak seharusnya dilihat dan berada di hadapan kita saat itu. Sekarang mestinya dipikirkan dan lakukan apa yang seharusnya dapat dilakukan sebagai salah satu bukti bahwa isme tersebut patut berada diantara kehidupan anak dan kita.
Suatu polemik yang sangat essensial bahwa berat sekali rasanya pada saat kita harus mengakui dan menjadi orang tua yang benar-benar matang dalam menggali potensi yang ada. Polemik antara orangtua dan anak terjadi ketika ”orangtua berkata A pada anak remaja malah dia akan mengakui bagian penting dari pembicaraan kita adalah bahwa orang tuaku telah berkata B padaku tentang semua itu”. Berarti pemutarbalikkan fakta yang ada dalam keluarga sudah menjadi sangat-sangat mengkhawatirkan sekali. Ini akan menjadi kiamat kecil bagi keluarga yang telah dititipi anak seperti ini. Apalagi bila dilihat perubahan-perubahan perilaku sang anak ketika semua perkataan pemutarbalikan fakta tersebut menjadikan orangtua mereka sendiri sebagai kambing hitam yang tidak pernah mandi. Orangtua akan merasa sangat terpojokkan sekali bila mengetahui semua itu. ”Ini anak, benarkah perilakunya sama persis denganku dulu”.
Rasanya sangat tidak masuk akal, bila kita tetap mempertahankan kepercayaan yang telah ditanamkan pada diri anak sebagai sebuah respon terbaik. Justru jangan sampai kita memiliki penyesalan di akhirnya nanti, karena ketimpangan yang ada antara pengakuan sang anak dan orang tua sangat jauh sekali berseberangan. Percaya atau tidak anak seperti ini memiliki motivasi diri untuk menyingkirkan orang tuanya dan mereka tidak segan-segan memilih untuk menyuruh orang lain menyingkirkan orangtuanya dari dalam kehidupan pribadi. Perasaan mereka sangat terbebani ketika harus mengakui bahwa orangtua mereka adalah penting untuk dipercayai semua masukannya alias orang yang harus mereka percayai pertama kali dalam keluarga.
Penolakan mereka inilah akan menjadi fakta-fakta yang dapat dengan mudah menyudutkan kedua orangtua. Sampai pada akhirnya mereka tidak pernah merasa memiliki orangtua yang patut mereka teladani. Kondisi yang membawa orangtua harus berpikir lebih serius. Karena hal tersebut sangat merilis perasaan orangtua, maka solusi terbaiknya ialah orangtua diharapkan mampu menentapkan pilihannya mengkonsentrasikan diri agar dapat memberikan pengertian kepada anak keakungannya. Berarti jelas sekali ketegasan dari sisi orangtua harus lebih menonjolkan perhatian sebagai suatu cara proteksi terhadap penyudutan diri orangtua secara pribadi. Itu adalah jawaban singkat dari panjang pendeknya masalah yang ada dalam keluarga.
Perhatian orangtua terhadap anak akan semakin membuat mereka merasa sangat yakin dan penuh percaya diri dalam bersosialisasi. Meyakini bahwa perilaku dan tindakan mereka secara tidak tampak, sebenarnya menambah satu efek lagi bagi orangtua, yaitu akan lebih jelas merasa tersudutkan. Harapan yang ada didalamnya ialah semakin membuat anak sadar. Kelebihan seperti itu merupakan salah satu keajaiban yang luar biasa, bila dilihat tidak semua orang dapat menyadari bahwa kelebihan tersebut adalah salah satu dari sebagian besar kontribusi yang telah diberikan selama ini.
Kepercayaan terdalam ialah mereka akan cenderung merasa selalu berpikir dua kali, terutama ketika harus melakukan tindakan yang tidak seharusnya dilakukan. ”Selain itu, akan membuat hati mereka merasa terenyuh. Apa yang diharapkan ternyata menonjolnya tingkahlaku baik dan buruk yang selama ini telah disembunyikan. Tingkah laku yang terlihat biasanya mencerminkan kehidupan orangtua yang terlimpahkan secara tidak disadari. Bila kita merasa berada dalam hati orangtua jangan khawatir bahwa ”aku” adalah anak yang bertanggungjawab”. Apa yang orangtua pikirkan ketika buah hati terindah dalam hidup ini berkata dengan indahnya dihadapan orangtua tercinta. Apalagi pada saat bersamaan pula anda membayangkan sekiranya anak keakungan adalah salah satu dari anggota keluarga berjiwa baik, orang baik lengkap dengan perhatiannya sebagai buah hati orangtua yang selalu berada dalam jiwanya.
Dalam benakku saat ini adalah bahwa hal tersebut tidak hanya orangtua yang merasa nyaman mendengarnya, namun lingkungan sosial-pun akan memiliki rasa yang paling dalam dan akan selalu merasa memang bahwa anak remaja keakungan kita adalah orang yang penuh gejolak jiwa. Persahabatan dengan anak akan semakin membuat orang-orang yang berada disekitarnya merasa sangat malu sekali, karena mereka merasa tidak seharusnya orangtua mutlak berada dibawah kendali emosi-emosi penyimpangan tindakan yang dianut.
Jadi inilah karya cipta yang telah kita tanamkan pada anak remaja. Kita dapat merasakan segala kejadian yang telah disebabkan oleh anak remaja kesayangan, apalagi orang yang berada dekat dengannya. Tentu saja hal tersebut bila harus diadopsi dapa membuat mereka merasa sangat hidup bila berada di dalam kehidupannya, namun sangat berbeda dengan harapan orangtua. Itulah anak remaja.
Siapakah yang harus mengajarkan?
”Sebagai orang normal, dulu sekali pernah mempunyai ikatan yang sangat kuat terhadap keinginanku. Keinginan tersebut berupa kenyataan, yaitu melanjutkan studiku kejenjang pendidikan yang jauh lebih tinggi dari sekarang ini. Di balik semua itu aku memiliki motivasi besar, tapi ada sisi lain yang tidak pernah aku sadari bahwa bagi orang yang memiliki kekuatan dalam memanfaatkan motivasi tersebut akan menunjukkan dirinya sebagai orang yang sangat berhasil dan memiliki kemampuan luar biasa dalam karirnya. Aku sangat berbeda dengan orang tersebut. Sebelumnya aku telah mengalami kegagalan dalam pendidikan, karena ketidakseriusanku dalam menjalaninya. Memang waktu itu aku menyadari sepenuhnya adalah kesalahanku, karena banyak penyebab yang membuatku tidak mampu menjalaninya dengan enjoy. Namun saat ini sepertinya itu adalah hanya sebuah ilustrasi hidup pada awal perlombaanku dengan waktu”.
”Aku menyadari sepenuhnya aku memang orang yang sangat membutuhkan perhatian dari orang-orang terdekatku, karena dengan perhatian aku akan memiliki energi luar untuk menyokong keinginanku itu. Aku selalu bertanya-tanya mungkinkah aku akan memiliki kemampuan yang sama dengan mereka yang menomorsatukan motivasi dalam hidupnya, sedangkan aku adalah orang yang memiliki kemampuan pas-pasan. Di lorong terjauh aku pernah mendapatkan sebuah keajaiban, menurutku itu adalah sebuah keajaiban. Keajaiban tersebut, maksudnya aku memang awalnya memiliki motivasi yang hampir sama dengan mereka yang berhasil tadi, tapi aku memiliki kelemahan pula, yaitu otakku tidak sama dengan mereka (daya rekam otakku sangat kurang sekali dibandingkan mereka)”.
”Keajaibanku adalah ketika aku diterima di sebuah sekolah favorite, sedangkan temanku yang memiliki motivasi dan kemampuan intelektual lebih baik dibandingkanku tidak diterima di sekolah favorite tersebut. Saat ini aku mencoba membangunnya kembali sebagai kekuatan yang tidak hanya berdasarkan motivasi, tapi sisi lain yang harus aku perhitungkan untuk mendukung keinginanku tadi yaitu keajaiban. Walaupun tidak semua orang memiliki rasa tersebut dan meyakininya sebagai sebuah titipan dalam hidupnya. Aku akan berjuang mengejar keinginanku tersebut, walaupun peluang kemungkinan keberhasilan yang akan aku dapatkan 25% : 75%. ”
Penolakan akan terus terjadi dalam diri orangtua ketika isme tersebut betul-betul bukan dari generasi kita sebelumnya atau isme yang telah lama direncanakan. Tentu saja menjadi sangat berat bagi sang bapak sebagai pimpinan keluarga dan ibu sebagai pengemban pendidik di rumah. Selain itu pula akan terasa sangat berat, jika di rumah hanya ada salah satu dari kedua orangtua tersebut. Kondisi seperti ini sering terjadi ketika sang bapak tidak di rumah atau bahkan sebaliknya.
Akhirnya sang bapak atau sang ibu mengetahui bahwa anak remaja kesayangan mereka memiliki aktivitas yang tidak semestinya ada dalam kehidupannya, alias berada di luar garis norma yang telah mereka ajarkan. Sebagai orang tua tidak pelak, bahwa hal semacam ini akan membuat orang tua merasa sangat terpukul sekali. Kemudian akan muncul pertanyaan-pertanyaan baru lagi atas semua yang dilakukan oleh anak.
Salah satu bentuk kepentingan diri menjadi mata rantai yang harus diputus. Untuk itu siapa yang salah bila semuanya telah terjadi? ”Apakah kedua orangtua akan menyalahkan sang anak, ataukah kedua orangtua akan saling menyalahkan karena tidak pernah memberikan perhatian terbaik bagi perkembangan kehidupan sosial sang anak? Atau mungkinkah akan dibiarkan begitu saja permasalahan yang sedang terjadi dalam tubuh keluarga tersebut?
Sebagai orang tua yang selalu berbesar hati, dalam hal ini memiliki rasa percaya akan kepemilikan generasi baru terutama yang bermasalah. Semua itu dapat dipastikan bahwa harapan orangtua tentang anak remaja kesayangannya ialah anaknya memiliki motivasi diri yang tinggi dalam membentuk kepribadiannya. Namun disisi lain bagi orangtua yang memiliki anak remaja keakungan yang bermasalah, kalau tidak bisa dipecahkan sendiri permasalahan yang terjadi sebaiknya jangan pernah mencoba memikirkan untuk mendapatkan solusinya secara instan apalagi dipikirkan hanya oleh diri sendiri. Sebagai orang tua sebaiknya coba sharing terlebih dahulu dengan suami/istri/atau mungkin saja beranikan diri untuk mengambil keputusan, yaitu sebaiknya lakukan sharing langsung dengan anak kita. Maksudnya, dari sana nanti akan terjadi review, untuk mengetahui apakah benar bahwa yang salah itu adalah sistem norma keluarga atau mungkinkah kita memiliki pernyataan bahwa ”aku bukanlah orang baik”!!!...... Sebuah pernyataan yang menyakitkan untuk sekarang dan selamanya.
Hendaknya di dalam diskusi posisikan bapak tetap sebagai pimpinan, dan ibu sebagai wakil pimpinan. Pecahkan masalah tersebut dengan mengulas kembali kesalahan yang telah terjadi sebelum atau bahkan pada kondisi saat kita berkeluarga sekarang ini lengkap dengan permasalahan yang terjadi. Jangan pernah merasa ragu untuk mengungkapkan bahwa permasalahan yang sedang terjadi saat ini tidak bisa dipecahkan. Percayakan bahwa kita memiliki keahlian di dalamnya. Berikan motivasi pada mereka yang tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan bahwa saat ini mereka/anggota keluarga kita benar-benar sedang dalam kondisi memiliki kendala yang harus dipecahkan bersama. Tanpa harus mengatakannya, ”kecuali bila harus menanyakan pada anak kita”.
Kilas balik dengan cara mereview kembali, yaitu apakah kita pernah melakukan hal sama seperti yang sedang terjadi pada diri remaja keakungan sekarang ataukah kita tetap menjadi orang terbaik bagi kita sendiri, keluarga ataupun lingkungan dimanapun kita tinggal. Memang waktu terus berputar lengkap dengan perubahan-perubahannya. Perubahan-perubahan tersebut tidak mungkin kita akan dapat menahannya sebagai bentuk protes dari ketidaksadaran kita terhadap perubahan yang terjadi.
Kita tidak perlu merasa khawatir, karena memang zamannya sangat jauh berbeda sekali antara zaman anak-anak kita sekarang dibandingkan dengan zaman waktu kita masih remaja dulu. Hanya saja, memang kita harus memiliki batasan-batasan yang wajar dalam mengajarkan mereka terutama dalam memenuhi kebutuhan perkembangan mentalistik dan moral anak-anak masa kini. ”Bertanya dan jawab sendiri”.
Semua wujud perkembangan mentalistik dan moral anak-anak masa kini sangat jelas sekali terlihat dari semakin menonjolnya perbedaan-perbedaan perilaku. Sebenarnya menurut mereka sangat menyenangkan secara individual, tapi ada segelintir personal yang hidupnya berdampingan dengan lingkungan mereka merasa bahwa mentalistik dan moral anak tersebut semakin membuat mereka merasa terbebani.
Kepedulian sebaiknya ditanamkan pada masing-masing personal agar mampu menciptakan kepribadian yang tangguh dalam menghadapi rentannya ketidakwajaran pergaulan masa kini. Bukan berarti dengan kewajaran itu akan membuat mereka harus merasa puas. Aku juga tidak percaya sepenuhnya bila ada yang menyatakan bahwa kewajaran yang dianut tersebut adalah pilihan akhir dari karir masa pergaulan anak-anak remaja.
Karena tidak hanya anak remaja, orangtua pun seringkali mengatakan bahwa mereka ”minta maaf” atas kesalahan yang terjadi hari ini. Tetapi siapa sangka perkataan minta maaf tersebut adalah akhir dari wujud kesalahan yang telah dilakukan oleh orangtua. Selama waktu masih terus berputar searah jarum jam, kesalahan-kesalahan serupa mungkin saja bisa terulang kembali. Biasanya kesalahan tersebut tanpa disadari, begitulah seterusnya. Akan menjadi siklus yang membuat mata rantai sulit sekali terputus dalam waktu singkat.Penciptaan-penciptaan pribadi yang tangguh sepertinya akan sangat menyulitkan sekali. Bila kondisi ini terus dipupuk dan dibudayakan sebagai suatu kebiasaan sehingga akhirnya akan meregenerasi menjadi sangat tidak mungkin akan membuat masing-masing personal merasa dapat hidup di dalamnya. Justru perbedaan-perbedaan tersebut dapat dengan mudah menciptakan arus baru bagi persaingan penciptaan ataupun regenerasi kewajaran versi remaja ataupun minta maaf versi orangtua. Dari semua itu, mungkinkah ada dari dalam hati yang paling dalam untuk menyalahkan anak yang tidak semestinya dimasukkan sebagai salah seorang calon terdaftar beangkerok setiap permasalahan yang terjadi. Lanjutannya dapat dibaca di sesion berikutnya,
Kesalahan-kesalahan yang tidak seharusnya terjadi saat diskusi ialah jangan pernah mencoba untuk memutuskan bahwa anak kita merupakan biangkerok terbesar dalam masalah yang sedang terjadi, terutama sekali ketika setiap kesalahan yang terjadi di lingkungan sosialnya. Jadikan mereka sebagai salah satu diri kita dan biarkan mereka berusaha untuk menyentuh atau merasakan bagaimana sebenarnya perasaan yang kita rasakan saat ini, terutama ketika menghadapi bagian tersulit dari apa yang dialami oleh sang anak. Kemudian buatlah si anak agar merasakan bahwa begitu beratnya untuk mengajarkan pada anak aturan-aturan yang harus mereka yakini, kemudian bila mereka sudah mengerti, biarkan mereka membantu kita untuk memecahkan masalah yang sedang terjadi.
Selain itu pula, berikanlah waktu luang pada mereka untuk menyampaikan ketidakpuasan yang terjadi dalam tingkahlaku sosialnya. Cara ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi sebenarnya siapa yang salah dan siapa yang benar dalam pergaulan sosialnya. Apakah memang anak kita yang harus disalahkan ataukah teman-temannya yang sengaja membuat anak kita agar selalu terpojokkan dari rekan-rekannya yang lain. Atau justru kita sendiri yang mengadopsi ketidakwajaran tersebut.
Dari beribu perasaan yang kita luapkan pada diri si anak, akhirnya dengan sendirinya mereka memutuskan untuk menganut kebenaran dan perasaan yang begitu dalam dari diri kita demi membatasi jumlah kali kesalahan yang mungkin terjadi dalam kehidupan sosial. ”Semua pasti berlalu, badaipun pasti berlalu”. Kadang-kadang itu dapat kita jadikan sebagai konsep hidup dalam pemecahan masalah. Maksudnya sekecil atau sebesar apapun permasalahan pasti ada pemecahannya dan pasti akan terlewati dalam kurun waktu yang tidak pasti. Apa yang kita pikirkan bila menyelami maksud dari badai pasti berlalu. Jangan katakan padaku tapi coba di pikirkan sendiri sebenarnya apa artinya menurut versi kita secara pribadi.
Sebagai salah satu acuan terpenting dalam kehidupan masa depan remaja, mereka akan memilih, kemudian akan dapat memilah mana yang baik untuk mereka lakukan dan mana yang tidak seharusnya ada dalam perilaku diri sang anak. Bukti bahwa mereka tetap memiliki kepercayaan dan mengakui kita sebagai orangtua yang sangat baik dalam kehidupan si anak.
Sebagai orangtua sebaiknya mencoba mendengarkan dan menyimak secara matang apa sebenarnya yang menjadi masalah, sehingga mereka memilih hal tersebut sebagai-bagian-terbaik dalam hidupnya. Selain itu orang tua harus lebih memiliki respon positif terhadap semua yang disampaikan oleh sang anak, dimaksudkan agar permasalahan anak dapat terpahami dengan benar. Akhirnya antara kedua belah pihak akan berbicara dari hati ke hati. Dari situlah sang anak akan mulai terbimbing dengan apa yang sebenarnya kita rasakan dan memang kita harapkan dari mereka. Tentu saja mereka tidak akan memilih untuk mengadopsi isme dari luar yang tadinya menurut mereka adalah baik sekali. Pemberian-pemberian pengertian semacam ini adalah sangat membutuhkan waktu yang tepat untuk mendiskusikannya dengan mereka. Kita tidak perlu lagi menjustifikasi mereka sebagai biangkerok terbesar dari masalah yang sedang terjadi.
Dari sini pula mereka akan merasa diperhatikan atas semua kebutuhan yang memang menjadi harapan utama dalam kehidupan sang anak. Walaupun banyak sekali anak-anak di luar sana tidak mempunyai orangtua yang memiliki kesempurnaan kemampuan untuk mengarahkan ke arah primer dari perilaku yang harus ada dalam diri sang anak. Kalau begitu permasalahan yang ada sangat mungkin terpecahkan pada saat itu juga, tanpa membutuhkan waktu lama ataupun bila diperhitungkan seberapa besar pengeluaran biaya maka jelas sekali kemampuan kita tadi sudah mengurangi biaya dan waktu, kalau memang sebelumnya kita berniat ingin membawa masalah ini ke psikolog dan membicarakannya.
Baikkah bila permasalahan keluarga kita diekspos ke lingkungan luar kemudian membahas dan mengharapkan orang luar memberikan pengertian sebenarnya seperti apa hubungan kita dengan anak kita. Bukan berarti tidak saat ini ataupun tidak berlaku pula dalam waktu pendek, tapi bagi perkembangan masa depan mereka selamanya, kenapa tidak. Akan menjadi keputusan baik bila kita memilih untuk menyelesaikan permasalahan intern dengan menyatakan bahwa ”permasalahan ini harus dapat dipecahkan dan diselesaikan antar anggota yang berkepentingan dapat dilakukan dengan cara damai melalui diskusi menggunakan kematangan isi kepala masing-masing”.
Apakah kita sanggup untuk memberikan nasehat dan melakukannya pada anak remaja keakungan kita?, ataukah memang nasehat itu menarik untuk diterima oleh sang anak? Itu adalah dua pertanyaan yang saling berkaitan. Butuh pertimbangan yang matang bila hanya memilih satu saja. Dan akan saling memberontak bila hanya salah satunya saja yang mendapat perhatian. Semua hal-hal kecil bila menurut kita ada kesalahan yang mau tidak mau dan menjadi sebuah keharusan untuk diungkap kembali, artinya disini kedua belah pihak sudah ada rasa saling terbuka. Mengapa kesempatan tersebut tidak dicoba untuk dimanfaatkan sebaik mungkin. Lebih jauh lagi, maksudnya adalah agar secara bersamaan akan mendapatkan pemecahan masalah yang mengena dan benar-benar tepat. Tentu saja hasil dari kesepakatan tersebut tidak saling menyakiti satu sama lain. Karena apabila diselesaikan secara saling terbuka antara kedua belah pihak, dimana semula permasalahan tersebut sebelumnya kurang jelas ujung pangkal permasalahannya maka akhirnya akan menjadi sangat jelas sekali.
Bila sudah di mengerti caranya mengatasi permasalahan-demi-permasalahan, maka tidak salahnya selaku orangtua memiliki motivasi lebih baik lagi dalam mewujudkan hasilnya tersebut kepada sebuah pembangunan diri dan menciptakan korelasi lebih intim lagi dengan sang anak. Percayalah bahwa sebagai orangtua tidak mungkin akan memendam rasa bersalah dengan darah daging sendiri. Bila pilihan tersebut salah, yaitu memendam rasa bersalah. Itu adalah keputusan yang kurang baik. Untuk itu jadikanlah metode anda sebagai metode terbaik dalam mengatasi setiap permasalahan yang terjadi dalam keluarga anda. Temuan hasil sebagai putusan saling terbuka, itu adalah cara penyelesaian terbaik bagi anda terutama untuk pembangunan mental yang lebih kuat lagi bagi anak anda.
Konon menurut cerita dari banyak mulut orang tua atau banyak orang yang memikirkan kondisi seperti ini seringkali menyamakannya ke dalam ungkapan-ungkapan mengasikkan untuk didengarkan dan dipahami. Tentunya tidak jauh-jauh dari rujukan pribahasa orang zaman dahulu, yaitu ”bagaikan buah kelapa bila jatuh tidak jauh dari pohonnya”, atau ”bagaikan air yang jatuh dari atap tidak akan jauh dari pancurannya”, selain itu mungkin banyak lagi pribahasa yang lebih mengena dari pribahasa di atas tadi. Tetapi seperti itulah adanya, perilaku orang tua dan anak pasti akan selalu memiliki kesamaan, mungkin saja 25%-75% kesamaan itu pasti akan ada.
Angka yang sangat kritis sekali bila angka itu terus bertahan pada anak, apalagi kesamaan perilaku orang tua dan anak itu adalah lebih besarnya pada negatif acts. Apa jadinya kalau itu semua memang benar, dan terjadi dalam lingkungan kita saat ini.
Menjadi pertimbangan yang sangat menyulitkan, ketika kita tidak pernah merasa bisa mengendalikan mereka (anak remaja) agar berada pada norma kehidupan keluarga yang dianut. Kondisi ini memang tidak semuanya sama untuk setiap keluarga, ada orang tua yang memiliki watak keras dalam mengatur kehidupan rumah tangganya dan ada pula yang sebaliknya atau mungkin saja ada dari mereka yang menganggap tidak perlu ada sama sekali aturan dalam keluarga.
Semua pilihan tersebut adalah hak kita. Tetapi saat ini, disini aku merasa sangat yakin sekali bahwa kita memiliki keberanian untuk menomorsatukan norma keluarga, artinya cenderung menolak isme (aturan) baru yang masuk ke dalam norma kehidupan yang telah kita ciptakan secara bersama-sama dan telah diramu jauh sebelum memiliki generasi baru dalam kehidupan kita. Ini semua dimaksudkan sebagai bukti bahwa kita mengakui keluarga dan benar-benar merasakan bahwa yang terpenting adalah budaya keluarga, maksudnya norma itu harus ada dalam lingkungan keluarga. Tidak ada pengecualian bahwa keluarga harus bebas-bebas saja dalam mengadopsi norma ataupun aturan yang harus diyakininya. Kalau begitu keluarga tersebut sebenarnya tidak mempunyai alasan kuat untuk mempersatukan antara kulit dengan otot.
Semua norma yang ada dalam keluarga kita, tentunya tidak terlepas dari adanya kerjasama antara anak remaja dengan orang tua. Kedua tingkatan usia yang berbeda jauh ini penting sekali untuk saling memberikan motivasi dan saling mengisi kekurangan yang seharusnya ada dalam aturan keluarga. Pengakuan antara dua generasi seperti itu merupakan salah satu bentuk penyesuaian dengan kondisi keluarga dan tentunya saling perduli sesama anggota keluarga, bukti nyata bahwa kita memang orang yang benar-benar perduli pada perkembangan anak remaja keakungan kita.
Aku hanya akan mengucapkan ”congratulations” karena telah memiliki jalan terbaik demi kemajuan pribadi dan tindakan yang harus anak kita pilih sebagai motivasi pribadi dan perkembangan mental dalam menghadapi masa depan yang terlihat semakin mengglobal. Walaupun dalam pencapaiannya kita harus memiliki tenaga dan dorongan besar dari luar kehidupan secara personal. Terutama dari orang-orang yang benar-benar memiliki persamaan motivasi hidup dalam penciptaan dan pengarahan karakter anak. Sepertinya kita adalah orang yang memiliki kekuatan tersebut.
Salah satu bukti dari rencana besar yang telah berhasil kita wujudkan. Itu semua sebagai bentuk keperdulian luar biasa yang telah ditanamkan dalam pencapaian tujuan masing-masing sehingga keduanya memiliki keuntungan besar di dalamnya, karena kita telah berani mencoba untuk mengajak anak remaja selalu berdamai dalam keluarga dan saling memberikan dukungan didalam melakukan aksi-aksi positifnya. Suatu rekonstruksi yang mahal bila diharuskan melihat kembali ke belakang. Rekonstruksi yang tidak mudah dilakukan oleh setiap orang. Rekonstruksi yang sangat melelahkan dan sangat menyita waktu maupun pikiran, karena sebagai orangtua jelas telah melihat dan merasakan dengan hati nurani dan dengan mata kepala sendiri bahwa perjuangan dalam mewujudkan impian, yaitu menjadikan diri anak lebih baik bukanlah hal mudah.
Tentu saja kita merasa yakin bahwa inilah cara terbaik untuk keluarga kecil kita. Sebagai orangtua patut merasa berbangga hati karena telah memiliki kekuatan di dalamnya untuk mewujudkan semua impian kita dan anak. Bila kita pandangi sejenak hasil yang telah didapatkan, yaitu perubahan-perubahan ke arah positif dari diri anak ataupun perubahan-perubahan positif dari diri kita menjadi sangat berharga sekali saat ini. Di sini berarti kita telah berani memanfaatkan kesempatan ini untuk membuka diri dan meyakini bahwa sebetulnya kita memang perduli terhadap sebagian besar keterbukaan yang ada dalam diri anak remaja keakungan.
Karya besar yang kita hasilkan, menjadi sangat wajar sekali untuk diterima oleh sang anak. Itulah bagian tradisi yang sebaiknya tidak perlu dihindarkan ”membuka diri demi perkembangan kebutuhan mental sang anak” mampu mewujudkan impian tersebut, berarti orang di sekitar kitapun sama seperti kita, yaitu sama-sama memiliki harapan. Kita telah dengan gamblang menjelaskan bahwa ini bukan hanya sekedar pilihan dan bukan sekedar gaya hidup (lifestyle) keluarga masa kini. Tetapi semangat luar biasa yang mampu mengarahkan gaya hidup menjadi kenyataan yang tidak hanya sekedar angan semata atau abstraksi harapan (biased of expectation or hopefull abstractions), namun lebih mengkondisikan kehidupan keluarga secara utuh, yaitu dua individu yang berbeda tingkatan usianya (orangtua dan anak).
Gaya hidup atau lifestyle sepertinya tidak sekedar pilihan yang harus ada dalam trend keluarga. Tetapi gaya hidup menjadi satu kebutuhan penting sebagai realitas dari sebuah kemajuan dan perubahan zaman. Keikutsertaan di dalamnya telah menjadi penyumbang besar dalam mengarahkan pada perubahan-perubahan yang semestinya dimiliki oleh keluarga di sekitar kita. ”Mengikuti zaman atau tetap tradisional aplikasi”. Jadi tidak hanya sekedar pilihan semata tapi sebagai sebuah primer needs. ”Menurut sebagian orang”.
Kita telah berani mempercayakan bahwa gaya hidup yang sedang berjalan dalam kehidupan kita tidak akan merugikan kepentingan orang yang ada di samping kita, mengapa tidak ditularkan pada orang tersebut? Kalau berhasil berarti kita telah menjadi orang yang memiliki motivasi dan telah terdaftar sebagai orang yang bertanggung jawab dalam memajukan lingkungan sosial dimana kita berada. Pengertian-pengertian seperti ini mengapa pula tidak kita tularkan pada generasi baru. Bila sudah meregenerasi berarti akan menjadi budaya serius yang harus ada dalam gaya hidup generasi berikutnya. Kita akan mengatakan pada diri kita sendiri ”jangan khawatir”.
”Aku adalah orang yang sangat responsive dalam setiap sisi kehidupanku. Memang sekarang aku memiliki tiga orang anak yang sangat hebat-hebat itu menurutku. Mereka bertiga saat ini sudah menginjak masa remaja. Aku merasa mereka memiliki kekuatan dalam dirinya untuk menjalani masa remaja ini. Memang dari sejak kecil sebagai orang tua, aku menganggap mereka adalah buah hati yang terindah dalam hidupku. Aku selalu membawa diriku untuk berada dalam kehidupan mereka. Aku mencoba untuk menyelami semua perjalanan hidup mereka bertiga”.
”Andi adalah anak pertamaku sekarang ini dia sudah berumur 15 tahun dan duduk di kelas 1 sekolah menengah atas, anak keduaku adalah Dinda dia berumur 12 tahun, dinda duduk di bangku sekolah kelas 1 sekolah menengah pertama dan anak yang paling bungsu adalah Sito dan dia berumur 10 tahun, Sito duduk dibangku kelas 4 sekolah dasar. Aku tahu bahwa selama mereka duduk dibangku sekolah banyak prestasi akademik yang telah membuatku merasa bangga. Karena dalam dunia pendidikan menurutku prestasi akademik tertinggi sang anak akan menjadi kebanggan tersendiri buat orangtua. Anda pasti akan merasakan hal yang sama persis dengan saya. Ini wajar, karena kebanggan kita berarti mereka telah mewujudkan kepercayaan orangtuanya di lingkungan pendidikan”.
”Memang bila aku harus melihat lebih dalam lagi bahwa mereka selalu memiliki kendala dalam pergaulan sosialnya. Menurutku itu adalah masalah pergaulan sosial, karena mereka bertiga sangat tertutup sekali terhadap orang disekitar selain aku sebagai orangtua mereka. Namun itu dulu sekali. Sekarang ini mereka sudah memiliki perubahan secara drastis dalam pergaulan sosialnya, karena aku merasa sangat bertanggungjawab sekali bila mereka bertiga di kemudian hari tidak memiliki kemampuan tersebut”.
”Aku mulai mencari cara yang tepat untuk ketiga anakku, karena dari ketiga anakku tersebut memiliki karakter yang sangat berbeda sekali, terutama bila dihadapkan pada lingkungan sosial. Jadi terus dan terus aku berusaha mencoba untuk mengajarkan mereka dan memberikan pilihan pada mereka tentang arti hidup bersosial. Akhirnya mereka menyadari bahwa mereka sangat peka dan mudah merespon setiap kendala yang ada di lingkungan. Setiap kali mereka ingin mengadakan kegiatan di luar rumah sebelumnya aku sangat khawatir sekali, namun saat ini, semua itu sudah bukan menjadi masalah lagi. Hanya saja aku tidak tahu persis bagaimana sekarang kemajuan yang sangat relevan di lingkungan sosial mereka.”
Sebaliknya apabila kita kurang atau tidak pernah mengakui secara serius bahwa anak remaja keakungan kita harus memiliki tanggung jawab dalam keluarga, berarti kita telah memulai kembali timbulnya aksi-aksi baru dari anak remaja. Jangan pernah tidak merasa khawatir bila anak kita hidup di luar lingkungan keluarga!!! ..... (begitulah yang akan ada dalam benak orangtua)
Aksi-aksi yang mereka pilih (remaja lakukan) tidak terbatas pada aksi-aksi merugikan secara pribadi sekira 100%, tapi 100% itu bisa saja akan terbagi menjadi 25% untuk remaja tersebut dan 75% untuk lingkungan sosial mereka atau bahkan mungkin saja sebaliknya. Ini adalah salah satu konsekuensi yang harus mereka terima setelah mereka menganut aksi-aksi lingkungan mereka seutuhnya, yaitu 100%.
”Sebagai seorang ayah, aku sangat senang sekali bila anakku memilih teman-teman yang baik-baik dalam usaha membangun mentalnya. Tetapi aku cenderung memilih kalau anakku harus hidup dengan aturan keluarga secara pribadi. Sebenarnya aku tidak sepenuhnya memiliki kepercayaan pada pribadinya, terutama bila dia bergaul dengan anak-anak seusia ataupun orang yang jauh lebih tinggi tingkatan pendidikannya dari anakku. Oleh karena itu, sebenarnya aku sangat mampu meyakinkan dia dengan cara mengajarkannya bahwa dia harus memiliki isi kepalanya secara wajar”.
”Setelah aku sadari bahwa secara perlahan, pengakuanku ialah anakku belum waktunya untuk diajarkan kepadanya pekerjaan-pekerjaan orang dewasa, seperti berbisnis besar-besaran. Kekhawatiranku adalah sangat meyakinkanku, terutama bila harus menatap perubahan-perubahan zaman saat ini. Aku hanya akan menyarankan dia bila dia mau belajar sesuai dengan tingkatan usianya sekarang ini”.
”Aku sangat sadar pula bahwa anakku baru berusia 18 tahun. Dan itupun membuatku sangat khawatir bila dia harus menjalani sebuah kebebasan dalam menciptakan intelektualitas pribadinya. Memang dikatakan orang berhasil adalah orang yang mau berspekulasi atas dasar bukti real yang ada di lingkungan dan atas dasar kemampuan melihat situasi kondisi saat ini. Itu adalah salah satu tahapan keberhasilan seseorang dalam meningkatkan ekonominya. Walaupun semua itu adalah benar, tapi bagiku yang sudah banyak sekali mengecap asam garam di dunia masa kini, sepertinya itu bukanlah pilihan yang tepat bila harus mengajak anakku ikut berperan di dalamnya”.
”Hanya saja anakku memang memiliki kemampuan kuat untuk membuka dirinya dan berusaha mandiri. Yang menjadi pilihan adalah bahwa anakku harus memiliki isi kepala terlebih dahulu, kalau dia mau menjalani keahlian sebenarnya yang sudah terlihat menonjol saat ini. Seperti yang aku katakan di atas, kemampuan bertahan terhadap risiko skill yang ada saat usia muda, tidak akan membuat dia merasa bahagia selama menjalani hidupnya. Dan itu akan menjadi sangat berat sekali bila skillnya saat ini diwujudkan sebagai realitas kepribadian yang harus diungkapnya secara tiba-tiba”.
”Aku memang pernah mengatakan pada dia bahwa lingkungan ini sangat kompleks tidak hanya dengan skill saja, namun mental dan moral akan sangat mendukung popularitas pribadi masa depannya. Sehingga dari situ pendidikan adalah membuatku merasa yakin mutlak dimiliki oleh anakku. Aku tidak mau anakku memiliki dua pilihan yang sangat menyulitkan, sekolah atau berbisnis. Yang aku tahu berbisnis memiliki aspek-aspek penting yang harus diketahui sebelum melangkah lebih jauh. Jadi tidak hanya berdasarkan kemampuan spekulasi tapi aspek-aspek yang diambil bila harus memilih isi kepala terlebih dahulu ataukah spekulasi berdasarkan keahlian berbisnis. Boleh-boleh saja spekulasi berbisnis di coba, tapi ada baiknya kalau dilakukan secara bertahap, guna mengurangi risiko kejiwaan yang nantinya bila terjadi ditengah-tengah berbisnis”.
Bagaimana menurut kita sebagai orang tua? Apakah kita menjadi orang yang diuntungkan dalam kondisi seperti ini, ataukah justru anak remaja kita adalah orang yang beruntung, dan apakah lingkungan sosialnya malah lebih diuntungkan karena aksi sang remaja tersebut? Jujur sebenarnya, aku juga tidak pernah mempercayai konsep tersebut!!! Hanya saja sejenak aku berpikir bahwa lingkungan tidak mungkin kita bohongi. Atas dasar kondisi tersebut sebetulnya kita telah banyak sekali melihat aksi-aksi yang seringkali membuat mereka merasa hidup dengan melakoni gaya-gaya hidup yang telah dianut. Apakah semua kebutuhan tersebut dimaksudkan langkah-langkah dalam mencari kesepakatan dengan lingkungan atau justru sebaliknya, yaitu membuat si anak tidak mungkin akan bersepakat dengan lingkungan. Yang pasti kejadian seperti ini banyak sekali terjadi saat ini.
Percaya ataupun tidak berhadapan dengan masalah remaja menjadi salah satu pilihan kita dan atas banyak tindakan yang menurut kita sangat bertentangan sekali dengan kesesuaian hidup sang remaja tentu saja kita sebagai pembatas bagi negatif acts dari gaya hidup mereka, sepertinya tidak bisa hanya melihat saja, namun dibalik itu pula kita harus mengakui apa yang mereka lakukan itu adalah gaya hidup yang ada di luar lingkungan keluarga yang memang telah mengalir dalam jiwa mereka.
Kebosanan atas masukan dari orang tua tentu saja malah akan menambah motivasi mereka menjalarkan akar-akar dalam tubuh mereka menjadi sangat mungkin terjadi. Semua itu akan semakin sangat sulit dikendalikan. Kitapun sebagai orangtua akan merasa keheranan sekali ketika melihat kearah anak remaja, ketika berada di samping kita, mereka adalah anak yang penuh kharismatik. Atas dasar kharismatik tersebut membuat orang tua merasa percaya saja dengan gaya hidup yang dijalani sang anak di luar.
Bukan berarti kita tidak pernah merasakan bahwa kehidupan sang remaja adalah kehidupan yang penuh dengan gonta-ganti perubahan trend dalam diri, terutama upaya mencari sebuah jati diri yang memang akan betul-betul membuat mereka merasa hidup dengan gaya yang telah ditemukannya itu. Apalagi keinginan berikutnya adalah mereka harus melumatnya sebagai suatu keharusan trend masa kini. Kekompakan remaja dengan trend gaya di zamannya merupakan bagian penting dari jalur hidup yang menurut mereka harus dilalui.
Sebagai orang tua sekaligus sebagai lakon dalam pengendalian moment tidak menentu tersebut, sepertinya suatu keharusan berada di dalamnya. Terutama karena anak tersebut secara serius membutuhkan pembentukan perilaku bagi masa depan anak, dan bagi anakpun kondisi itu harus selalu beriringan melalui pelakon serius.
Aku pikir itu semua akan menjadi sangat berarti bila kita mampu membuat kesepakatan yang berarti bagi pengarahan dan pemasangan rambu-rambu gaya hidup yang semestinya sang anak terima. Bukan berarti suatu keharusan bahwa kita harus memiliki dominasi terbesar dalam pengaturan dan pembentukan gaya hidup sang anak, namun pada dasarnya kita sangat menitipkan harapan pada anak melalui pemberian dorongan, agar sang anak mampu mendapatkan karakter terbaik dalam pemilihan karakter yang semestinya di terima oleh lingkungan. Semua ini adalah salah satu cara kita untuk mendapatkan kepercayaan diri sang anak, ketika saatnya nanti mereka memang harus dilepas dari keluarga.
Persaingan dan gangguan perilaku yang tidak menyenangkan dari luar tentunya akan membuat mereka semakin kuat untuk membatasi diri. Semua yang mereka miliki adalah pengendalian dari dalam diri yang telah ditanamkan oleh orang tua. Kekuatan tersebut akan memberikan rasa percaya diri yang tinggi sang anak dan kepercayaan orang tua akan menjadi besar sekali. Seiring dengan perkembangan sampai akhirnya masa transisi ini dapat dijalani dengan baik.
Sekali lagi untuk menentukan jalan kita berikutnya, apakah kita telah memiliki salah satu dari kesempatan untuk menjadi orang tua terbaik buat anak remaja keakungan dan kehidupan sosialnya. Aku tidak selalu berharap bahwa pendapat ini dapat memuaskan bagi pembaca, tapi terhadap pendapat dan kejadian yang aku tulis ini, itu adalah keputusan terdalam pribadi kita. Apakah memiliki keyakinan untuk memilihnya, karena aku tidak berhak untuk memaksa kita berpikir lebih dalam. Namun, lebih baik coba dipilih yang baiknya saja. Bagiku ini adalah tulisan berharga dari pikiranku semata, tentunya tidak terlepas dari pengalaman pribadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengakuanku hanya satu yaitu bahwa semua itu telah terjadi di sekitar kita.
Dari pengalaman yang telah ditemukan di sekitar kehidupan kita, keberanianku adalah mencoba untuk mengakui semua itu sebagai bentuk korelasi kita dengan lingkungan. Dan juga sekaligus mengkondisikannya menjadi bagian penting yang harus mendapat pengakuan dari personal yang benar-benar mengerti bagaimana karakter anak remaja. Mutlak bagiku rasanya untuk mengutus pikiranku agar mampu merubah aliran informasi yang didapatkan secara langsung untuk kemudian dirubah wujudnya menjadi nyata, yaitu tulisan.
Aliran yang memiliki wujud samar, menjadi sangat tidak mungkin untuk kita rubah begitu saja menjadi realitas. Walaupun mengkondisikannya dari hal yang tidak berwujud alias abstrak menjadi realitas dan berwujud sangat membutuhkan pertimbangan cemerlang. Itu adalah salah satu konsep kejadian secara praktikal yang akan kita dapatkan setiap waktu. Aku pikir kejadian ini seringsekali kita temukan di lingkungan sekitar kita sehari-hari, hanya saja kita tidak pernah merasakannya lebih dalam dan mengikuti hati nurani kita untuk membicarakan kejadian tersebut.
Aku sangat yakin sekali dengan pernyataan tersebut, juga aku sangat mengakui bahwa itu adalah aktivitas yang tidak mungkin di cegah secara langsung. Bukan tidak mungkin kita pernah melihat atau bahkan secara pribadi pernah merasa menjalani pengalaman tentang kejadian-kejadian indah ataupun pahit. Bahkan mungkin saja suatu kebiasaan yang telah diketahui oleh banyak orang. Sehingga membuat personal menjadi sangat sulit menghindar.
Pengakuan diri atas semua yang telah kita lakukan sejak dulu ternyata sekarang terulang lagi dalam kehidupan sang anak, aku pikir itu semua bukanlah menjadi masalah yang dapat memojokkan pribadi kita, itu adalah hal wajar. Karena itu merupakan salah satu cermin yang harus tetap diperhatikan lebih dalam dan semua itu adalah cermin terbesar dalam hidup kita, karena sang anak telah mewujudkan semua perilaku kita yang dulu sekali. Kita merasakannya saat ini, terutama ketika kita harus melihat diri anak, seperti siapa sebenarnya anak kita saat ini.
Ketika kita merasa semua itu pernah terjadi dalam kehidupan ini, berarti itu adalah bagian berikutnya yang akan ada dalam diri generasi baru kita. Betapa yakinnya setelah kita berani menyatakan bahwa yang telah dipilih saat ini menjadi bagian penting sebagai salah satu keputusan tepat dan bijak. Apakah kita telah mempunyai komitmen penting dalam berkeluarga. Seringkali harapan kita adalah memiliki komitmen terbesar dalam diri sebagai penentu semua kebijakan dalam merubah image. Sebenarnya semua itu sangat tidak mungkin terpisahkan dari dalam pribadi kita sampai kapanpun. Bila semua itu tidak kita miliki, berarti kita telah menciptakan sebuah kerugian besar bagi perubahan-perubahan yang seharusnya diterima oleh generasi kita. Betapa tidak perdulinya kita terhadap perubahan yang hendak mereka jadikan bagian dalam cerita hidup dan kehidupan seorang anak remaja lengkap generasi baru di masanya.
Lebih jauh bahwa cermin besar tadi betul-betul ada dalam diri generasi bukan lagi ada dalam diri kita. Sesungguhnya perubahan-perubahan generasi sangat mendominasi pada waktunya. Hanya saja kita jarang sekali memikirkan hal-hal semacam itu. Yang selalu kita pikirkan adalah sebuah kekhwatiran saja, tapi tidak pernah berani untuk memilih diri secara pribadi mau mengoreksi apa yang telah kita lakukan dibandingkan mereka.
Lebih mengarahkan pada positive acts biasanya akan merubah image dan kita akan merasa yang dilakukan saat ini adalah pengganti masa lalu yang kelam, lengkap dengan aktivitas yang sangat menyakitkan bagi lingkungan sekitar. Sepertinya itu adalah obat untuk menghilangkan duka terdalam dalam diri kita setelah sekian lama membenam dalam kepala. Dan inilah saatnya untuk kita berbuat lebih jauh, yaitu lakukan apa yang dapat dilakukan bagi perbaikan pribadi remaja terutama mengarahkan mereka ke arah positive acts.
Kita telah berhasil mengarahkan mereka, itu adalah kepuasan yang sangat dirasakan saat ini. Cita-cita panjang telah tercapai saat ini, karena dihadapan kita telah berjalan dengan baik positive acts. Anak remaja dan kita telah kembali merasakan hidup normal seperti keluarga-keluarga normal lainnya. Tetapi, apakah cukup hanya sampai disitu saja? Menjadi PR lagi bagi masa depan generasi berikutnya dan mungkin akan menjadi pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan pernah mati cepat dari dalam kepala kita.
Apakah kita merasa puas? Apakah tetangga atau orang terdekat kita merasa puas terhadap positive acts anak kita? Apakah kita merasa telah memiliki keberhasilan besar merubah negative acts anak kita ke arah positive acts? Aku yakin sekarang ini adalah kita seutuhnya, bukan seorang psikolog yang memiliki kepintaran mirip seperti kita. Jika anak merasa diperhatikan oleh orangtuanya pasti diakhir keberhasilannya memasuki lingkungan sosial yang baru akan menjadi lebih mudah terutama diantara mereka kebanyakannya memiliki kemampuan bertahan dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki aturan dan kedewasaan hidup yang tepat. Bukan berarti telah menunjukkan aura yang kuat bagi kepentingan masa depan generasi kita melalui pemaksaan-pemaksaan secara mentah-mentah, tapi itulah suatu cara terbaik yang harus dilakukan karena apa yang mereka lakukan, berarti kita juga ikut melakukan bersama mereka.
Curahan-curahan perhatian yang sangat mendasar dan begitu mendidik akan menjadi modul baru dalam kehidupan kita sebagai prosedur kerja yang harus disempurnakan lagi bagi generasi berikutnya. Lantas apa yang harus kita perbaharui dari modul kerja tersebut? Sepertinya itu bukan lagi menjadi patokan seutuhnya yang harus kita pegang untuk merubah generasi berikutnya, karena apa? Karena waktu terus berubah, jadi tidak mungkin kita akan selalu menerapkan modul ini untuk lima tahun kedepan. Jadi kita tinggal merombak dan mengikuti berdasarkan apa yang dilihat. Percayalah bahwa kita pasti mampu untuk menjalankannya sebagai kreativitas tanpa batas atas dasar kerja keras dan kerja sama.
Sebagai orangtua, terkadang sulit sekali menentukan posisi dengan anak beranjak remaja, apalagi sang anak sudah berusia di atas 13 tahun. Sewaktu kecil mereka sepenuhnya bergantung pada kita dalam segala hal, sekarang semua itu sudah menjadi sangat lain sekali. Kita dapat dengan teliti mengamati sang anak, terutama ketika mengantarkan mereka ke sekolah, mereka akan meminta diturunkan di ujung jalan agar tidak malu di depan teman-temannya.
Bagaimana persepsi kita atas pilihan mereka untuk memulai menentukan pilihannya. Karena lambat laun mereka akan menjadi memiliki kebiasaan untuk menghindar dari kepercayaan yang ada dalam diri. Sebenarnya dari kebiasaan tersebut, ada sebagian orangtua merasa sangat tidak senang dengan kebiasaan anaknya, yang memilih untuk tidak mau menjadi teman sejati orangtua. Malahan kondisi semacam ini sering terjadi pada saat mereka merasakan bahwa kondisi yang sedang dialami sangat menyenangkan. Walau bagaimanapun, sebagai seorang anak, mereka tetap membutuhkan cinta dan dorongan serta orang-orang yang mau mendengarkan mereka. Memang sebagai orangtua bila beranggapan seperti di atas rasanya sangat naif sekali, karena telah berburuk sangka pada sang anak.
Lebih baik kita mengetahui maksud si anak, mengapa mereka lebih memilih untuk diturunkan tidak sama dengan teman-teman yang lain. Dari sini mereka mencoba mengajak kita untuk berpikir lebih jauh. Sebenarnya bila kita sadar keinginan-keinginan tersebut salah satu bukti bahwa kita harus menjadi orang yang berpikiran positif terhadap mereka dan jangan sekali-kali merasa sebaliknya.
Memang ada sebagian anak beralasan bahwa mereka malu bila orangtua mengantarkan mereka sampai ke depan pintu gerbang sekolah. Semua itu bisa saja karena mereka memang merasa masih kecil dan sangat-sangat manja sekali, bila ketahuan oleh rekannya. Atau negatif thinkingnya ialah mungkin saja mereka merasa malu jika memiliki orangtua yang memiliki perhatian lebih terhadap dirinya, sedangkan teman-temannya yang lain cenderung memiliki kepribadian yang sangat kuat yaitu lebih mandiri dibandingkan diri mereka.
Orang tua yang baik tentu saja akan mengerti dan memahami, mengapa anak menjatuhkan pilihannya seperti itu. Atau kalau memang ada waktu kosong, kita boleh menyampaikan sedikit keluhan secara pribadi langsung pada mereka, seolah membangun kepercayaan diri kita agar tetap menjadi orang yang bijak, bertanggungjawab dan tidak pernah selintaspun apa yang ada di dalam kepala akan berdampak buruk pada personal si anak. Tetapi kitapun harus memilih waktu yang tepat untuk menyampaikan instruksi/keberatan kita terhadap perilaku sang anak.
Mungkin dari situ mereka akan sangat mengerti sekali dengan maksud kita sebagai orangtua mereka seutuhnya, yang sebenarnya tidak cukup hanya dengan menjadikan mereka agar memiliki isi kepala yang penuh dengan prestasi akademik, namun ada baiknya norma-norma kesopansantunan terhadap siapapun, itu adalah bagian penting yang harus mereka miliki. Ini dibutuhkan untuk suatu ketika mereka siap tidak berada di samping orang tua/tidak dalam pengawasan dan perhatian orang tua seutuhnya. Jadi rasa tanggung jawab tersebut harus benar-benar menjadi pilihan mati bagi tingkahlaku sosial. Artinya mengajarkan mereka untuk bertindak tetap pada bagian yang seharusnya mereka lakukan.
Pegertian dan pemahaman orang tua terhadap psikologis anak itu adalah langkah untuk menjajaki kemampuan sang anak akan bersosialisasi dengan lingkungan, dimanapun mereka berada. Selain itu orang tua juga akan memiliki pemahaman sendiri tentang kebiasaan baik ataupun buruk anak keakungan mereka. Upaya saling memahami akan menjadi patokan yang ada dalam kepala kita sebagai orang tua, sebagai bukti bahwa kita adalah orangtua yang berilmu dan perduli atas kebutuhan anak. Pada dasarnya tidak semua perhatian tersebut akan dinikmati sepenuhnya oleh seorang anak.
Kadang-kadang kita tidak pernah berani untuk melihat ke bawah ada siapa lagi selain kita, yaitu lingkungan yang sangat-sangat jauh dari model kehidupan modern saat ini. Kehidupan tradisional keluarga membuat seorang anak harus mampu memahami orangtua bukan orangtua yang harus memahami kebutuhan seorang anak. Anak-anak seperti ini memiliki kemampuan bertahan hidup yang tidak akan pernah terkalahkan oleh anak-anak yang terpola secara modern. Dimanapun anak-anak ini dilepas akan terlihat kegigihan untuk memiliki rasa perduli yang tinggi pada lingkungan sekitar. Mati sekalipun bukanlah hal menakutkan, bila itu adalah untuk sebuah kebenaran.
Jangan sampai terlalu berlebihan dalam memanjakan sang anak. Kita pasti akan tahu dan kita pasti akan menyadari bahwa kadangkala kegigihan dalam mendidik seorang anak remaja tidak akan memberikan kekecewaan dalam diri kita, malahan sebagai orangtua ketika melihat si anak berada jauh dari lingkungan kehidupan kita, semua rasa was-was/kekhawatiran yang berlebihan akan menjadi sangat tidak mendominasi isi kepala lagi.
Jadi biarkan kita memiliki semangat untuk menjadikan buah hati kita sebagai orang yang sangat berkepribadian dan selalu memegang kepercayaan diri serta bertanggung jawab terhadap lingkungannya. Ini motivasi istimewa yang harus dihormati sebagai bentuk terima kasih kita karena hubungan dengan sang anak sudah terjalin lebih baik. Anakpun akan merasa sangat perduli pula pada diri kita dan mengakui seutuhnya bahwa kita adalah orang nomor satu dalam memberikan pendidikan keperibadian pada mereka. Ini adalah salah satu bentuk proses jalinan kasih akung yang tidak mungkin dapat mereka lupakan.
Salah satu keahlian orangtua yang sangat dibutuhkan remaja adalah kemampuan untuk mendengarkan. Bukan berarti orangtua harus berasal dari orang yang memiliki kemampuan spesial dibidangnya, tapi paling tidak semua itu dimaksudkan agar orangtua tersebut mampu menggunakan telinga dan mulutnya secara seimbang dan simultan. Mendengar dua kali lebih banyak dari berbicara, dan mencoba untuk melihat permasalahan dari sudut pandang remaja, adalah target penting yang harus dibudayakan oleh orang tua. Kemampuan tersebut tidak perlu kita mempelajarinya lebih jauh lagi, tapi cukup hanya dengan selalu merasa perduli terhadap remaja tersebut. Itu akan menjadi solusi yang paling efektif.
Hal ini bukan berarti kita akan setuju dan menerima semua yang dikatakan anak kita. Kita masih tetap memiliki sudut pandang sendiri dan personal principles, tapi dengan mendengarkan, kita menunjukkan kemauan untuk mengerti. Seiring perubahan waktu, kita akan merasa nyaman dengan apa yang dilakukan untuk kepentingan sang anak remaja.
Jika anak membuat keputusan yang tidak kita sukai, jangan memberi saran jika tidak diminta, jangan pula memberi kritik atau perintah. Jika itu bukan keputusan yang penting, kita bisa mendapat nilai lebih dari anak kita karena mau mendengarkan dan mengakui haknya untuk mengungkapkan apa yang ada di kepalanya. Nilai lebih tersebut akan membuat orangtua berada dalam posisi diuntungkan jika terjadi diskusi untuk mengambil keputusan yang sangat penting.
Kenyataan bahwa kita mendengarkan mereka, maka akan mendorong anak untuk mau mendengarkan dan mungkin mereka terpengaruh oleh apa yang kita katakan. Itu adalah salah satu cita-cita besar orang tua. Cita-cita tersebut berupa harapan anak mau mengikuti aturan dan mendengarkan nasehat yang ada dalam mulut kita. Namun dibalik itu, kita tidak mungkin menghindar bahwa sebelumnya kita telah memiliki keahlian dalam mendengarkan kata-kata anak.
Pengertian yang diperoleh dari hasil mendengar, akhirnya sebagai orang tua akan mau memilih untuk lebih banyak berbagi cerita dengan anak. Ini berarti pendengaran yang ada dalam diri kita telah membuat suasana antara kita dengan sang anak menjadi lebih memiliki ikatan murni yang tidak mungkin dapat terpisahkan lagi. Bagi para orangtua ada baiknya memperhatikan hal-hal yang sangat memiliki keterkaitan dengan sang anak.
Mulailah menganggap anak remaja sebagai teman dan akuilah mereka sebagai orang yang akan berangkat dewasa. Perhatian dari orang terdekat akan menjadi sangat baik bagi perkembangan mental pribadi anak. Tidak hanya kita harus selalu memenuhi kebutuhan dengan kebutuhan mewah dan sangat memudahkan segala aspek yang sangat dibutuhkan mereka. Tetapi dengan memiliki anggapan baik terhadap masing-masing pihak akan menjadi sangat mendominasi kemajuan hubungan keduanya.
Hargai perbedaan pendapat yang ada, kemudian ajaklah mereka berdiskusi secara terbuka. Karena diskusi terbuka diantara keduabelah pihak akan menjadi sangat mungkin mendapatkan hitam di atas putih atas permasalahan yang sedang kita diskusikan berdua. Diskusikan dan cari solusi setepat mungkin karena ini adalah kesempatan terbaik sekaligus waktu yang tepat untuk anda mendiskusikan masalah lebih dalam secara serius. Pilhan yang tepat pula jika anda mau mempercayai apa yang menjadi prioritas pandangan-pandangan mereka sebagai pilihan terbaik pada saat itu. Timbal balik adalah bagian yang memungkinkan untuk dijadikan salah penghubung komunikasi agar semua unek-unek dapat dicari jalan tengahnya.
Jangan malu atau takut berbagi cerita masa remaja secara langsung/sendiri kepada anak kita. Biarkan mereka mendengar dan belajar apa yang mendasari perkembangan diri kita dari pengalaman kita dulunya. Pada dasarnya, tidak ada anak remaja yang ingin kehilangan orangtuanya. Itu saja sebenarnya menjadi harapan mereka.
Mengertilah bahwa masa remaja untuk anak kita adalah masa yang sulit. Perubahan mood sering terjadi dalam durasi waktu yang pendek, kadang-kadang bukan hanya dalam waktu yang pendek malah spontanitas dari diri mereka membuat kita kadang-kadang merasa tidak membenarkan semua yang mereka lakukan. Sebenarnya melihat dari berbagai pertimbangan yang ada dalam diri anak. Tentunya kita tidak perlu panik jika anak remaja kita yang biasanya riang tiba-tiba bisa murung dan menangis lalu tak lama kemudian kembali riang tanpa sebab yang jelas. Kita khawatir dengan perubahan perilaku anak kita. Ya itu adalah perubahan-perubahan dalam diri anak yang tidak mungkin kita singkirkan dari hadapan kita.
Jangan terkejut jika anak kita bereksperimen dengan banyak hal, misalnya mencat rambutnya menjadi biru atau ungu, memakai pakaian serba sobek, atau tiba-tiba ber-bungee-jumping ria, lompat kesana-kemari tanpa sebab. Selama hal-hal itu tidak membahayakan keselamatan secara personal, mereka dapat dikatakan sebagai anggota yang memiliki kelayakan untuk mencoba masuk ke dalam dunia yang berbeda dengan dunia mereka saat ini.
Berikanlah ruang gerak pada mereka untuk mencoba mencari potensi secara professional melalui berbagai peran yang cocok bagi masa depan mereka. Pilihan itu sepertinya akan cukup membantu kebiasaan baik mereka dalam mendapatkan hasil uji cobanya, yaitu mereka akan memiliki kemampuan lain dalam memilih baik buruknya semua yang mereka lakukan melalui hasil eksperimen yang telah mereka dapatkan.
Kenali teman-teman anak remaja kita. Bertemanlah dengan mereka jika itu memungkinkan, tapi sebenarnya orang tua dengan anak sangat memungkinkan untuk melakukan pertemanan tersebut secara baik. Selain itu pula dapat dipastikan bahwa orang tua tetap harus mengenali karakter si anak. Jadi tidak perlu merasa canggung untuk melakukannya. Namun kemungkinan lainpun dapat ditanamkan bila kita merasa perlu mewaspadainya. Jika anak kita sangat tertutup dengan dunia remajanya. Mungkin saja ia tidak/kurang mempercayai kita atau ada yang disembunyikannya. Untuk itu yang dibutuhkan adalah kedekatan antara kita dengan teman anak kita. Aspek lainnya, yaitu akan menjadi sangat menguntungkan kita, maksudnya setiap apa yang dilakukan anak kita di luar pengawasan kita, kita akan mengetahui lebih jelas dari teman terdekat yang benar-benar dipercayanya.
“Ketika seorang ibu bernama Eva umur 38 tahun, yaitu ibu dari Ferdi, remaja putra usia 14 tahun dan Evrianto remaja putra usia 12 tahun, akhir-akhir ini khawatir akan perkembangan anaknya. Si ibu merasa sangat bingung sekali, lantaran Ferdi tidak suka bermain badminton seperti anak lelaki sebayanya. Namun di dalam benak Eva, dunia anak lelaki itu biasanya identik dengan olahraga yang butuh stamina prima. Padahal, sebenarnya tak ada yang salah dengan Ferdi. Ia sehat secara jasmani dan rohani. Namun, kelihatannya minat Ferdi sangat tidak mendukung untuk berada dalam kehidupan seorang yang memiliki kondisi tubuh prima, namun Ferdi terlihat lebih memiliki kemampuan di bidang seni. Ia suka dengan karya-karya sastra, di hari-hari menyenangkan buat Ferdi, dia sering menulis puisi, gemar membuat lirik lagu dan lebih memilih berlatih main biola dan piano daripada lompat-lompat di lapangan badminton”.
”Menjadi pilihan tepat sepertinya bila kita mempercayai bakat anak kita, bila di lihat dari kesenangan dan kemampuan yang dimiliki si anak. Pilihan Eva sebagai seorang ibu beranggapan bahwa anaknya yang memiliki badan prima selalu diidentikkan dengan anak tersebut harus menjadi olahragawan. Pemikiran-pemikiran yang sangat mungkin membatasi attitude si anak bila orangtua tetap ngotot untuk mengarahkan si anak pada pilihan orangtua. Jangan salahkan suatu hari anak kita akan merasa tidak nyaman atas pilihan yang telah ditetapkan oleh orang tua, dan jangan salahkan pula bila suatu waktu mereka merasa bosan pada pilihan yang ditetapkan oleh orang tua dan kembali pada pilihan yang benar-benar mereka senangi. Salah satu keuntungan besar yang akan didapatkan dari si anak justru mereka akan memiliki kepribadian yang sangat tinggi”.
Nah, jika kita juga mengalami situasi seperti ini, apa yang mesti dilakukan sebagai orang tua? Sedihkan jika ternyata si remaja keakungan kita tidak suka bermain badminton atau nggak mau ikut kelompok cheerleaders misalnya?
Sebagai orangtua, sebaiknya jangan langsung merasa sedih dulu bila si remaja kita tidak berminat untuk banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang membutuhkan aktivitas fisik lebih besar, karena mungkin minatnya memang tidak di situ. Yang terpenting bagi orangtua adalah bagaimana kita bisa terlibat aktif untuk mencari tahu aktivitas apa yang disukai si remaja kita.
Ketahui apa sebenarnya yang mereka minati dan menjadi pilihannya. Semua itu akan didapatkan bila kita berani untuk memperbanyak mengobrol dengan mereka. “Rebutlah” hati putra atau putri remaja kita, agar mereka besikap terbuka terhadap kita. Hal ini berguna agar kita bisa membantu si remaja mengembangkan bakat dan minat mereka hingga jadi “bekal” berguna bagi hidupnya nanti.
Memang harapan-harapan tersebut akan menunjang masa depan mereka, tapi kalau masalah aktivitas berupa keahlian yang mereka senangi sebenarnya kita tidak akan dapat membatasi mereka, karena aktivitas itu adalah yang membuat mereka merasa nyaman. Jadi biarkanlah mereka memilih aktivitas terbaik buat masa depannya.
Untuk dapat mengetahui minat mereka terhadap suatu aktivitas, berikut ini ada beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman untuk bertindak bijaksana terhadap si remaja kita : Pertama, jangan langsung menghakimi remaja kita, tidak sehat hanya karena ia tak berminat pada olahraga basket atau sepakbola misalnya. Sejauh anak masih menyempatkan waktu untuk melakukan aktivitas fisik yang seimbang dan mempunyai pola makan yang sehat, maka kita tidak perlu cemas terhadap kebugarannya. Kedua, segera cari tahu minat dan bakat terpendamnya. Kita bisa mengajak si remaja ngobrol tentang kesukaannya. Melalui obrolan yang pertama kali kita buka adalah dengan memancing mereka untuk berbicara yang paling menyenangkan dalam hidupnya, dari situ nanti mereka akan mencoba bertanya balik kepada kita, apa sebenarnya yang paling kita senangi. Mereka juga akan melihat dan mendengarkan apa yang kita bicarakan. Kemudian dapat kita yakini bahwa merekapun akan mencoba untuk menceritakan bagian penting dan menyenangkan dalam kegiatan kehidupan mereka.
Ketiga, sadarilah, bahwa remaja aktif tidak selalu identik dengan basket, sepakbola, softball, atau dunia dance dan cheerleaders. Ada banyak bidang lain yang digemari remaja antara lain baca puisi, dunia sains, baca buku, main gitar, piano, suka memperdalam bahasa asing antara lain; Inggris, Mandarin, Perancis, Jepang. Mengapa tidak mempercayai pilihan mereka secara utuh? Padahal kalau kita mau mendukung pilihan mereka, sebetulnya akan menjadi salah satu step baik buat kemajuan pribadi remaja keakungan.
Keempat, apapun kegiatan positif yang dilakukan remaja, berilah dukungan. Sekecil apapun perhatian yang diberikan akan sangat berarti baginya. Dalam kondisi seperti itu, kita bisa bertanya tentang kegiatan les gitar, misalnya, atau mempersiapkan bekal yang akan dibawa si anak. Akan menjadi istimewa bagi mereka ketika diberikan perhatian terhadap kebutuhannya, salah satunya, kita bisa membawakan MILO siap minum, kemasan kotak atau kaleng. Minuman sehat berenergi ini dapat membantunya agar lebih berstamina.
Kelima, sesekali berilah reward atas kemajuan yang telah dicapainya. Misal, ketika tim softballnya keluar sebagai juara, sebuah pesta kecil yang kita rancang sendiri di rumah, bisa menjadi surprise manis. Atau ketika si remaja berhasil naik tingkat ujian piano, traktir dia makan di resto favorit (bagi anda yang memiliki ekonomi cukup untuk memenuhinya), kalau memang tidak mungkin mengajak mereka ke salah satu resto favorit sebaiknya diadakan sendiri di rumah (yang pasti tidak memperlihatkan suasana ekonomi berlebih) khawatir mereka akan menirukan kebiasaan yang tidak semestinya mereka lakukan bila dilakukan terlalu berlebih, tapi seperti catatan tersebut tak ada salahnya, bukan?
Di bawah ini akan ditampilkan secara singkat cerita drama karakter anak dan orangtuanya. Drama yang mengharuskan kita untuk berani memahami secara mendalam, dan akan menjadi suatu khayalan bagi orang tua. Dapat dilakukan pada anak kita bila memiliki kemiripan karakter, beranikan diri untuk menanamkannya dalam diri anak maupun secara hormat dari pilihan mereka untuk menjadikan kita sebagai orangtua terhormat versi mereka. Salah satu cerita yang aku dapat dari media elektronik, yaitu tentang seorang anak yang memiliki keinginan menyamakan karakter dirinya seperti layaknya orang terkenal ataupun secara khusus mereka mencoba mengidolakan pilihannya tersebut. Yang ada dalam pikiran mereka bahwa orang tersebut sangat asik bila diikuti gayanya.
Siapa Idolaku?
“Kamar seorang anak bernama Putih Astri berusia 14 tahun, terlihat dengan jelas sekali telah dipenuhi oleh poster selebriti salah satu band masa kini. Rupanya, dia menggandrungi band yang tengah naik daun saat ini. Memang umumnya anak remaja memiliki tokoh idola. Entah itu penyanyi, bintang film, atlet, ilmuwan atau tokoh-tokoh lainnya. Siapa idola anak Kita? Apakah David Beckham, Agnes Monica, Samuel Rizal, Beyonce Knowles, Justin Timberlake atau SBY? Berbeda halnya dengan seorang putri bernama Ari yang baru berusia 15 tahun, dia mengidolakan ayahnya sendiri? Ayah Ari memang bukan selebritis, tapi ternyata ada hal-hal yang membuatnya layak jadi idola. "Papaku orang yang sangat baik, papaku juga sangat bijaksana dan pintar. Dia sangat akung dan baik padaku, tapi tetap bisa tegas," ungkap Astri dengan manjanya”.
Pasti setiap ayah akan sangat bangga bila dapat menjadi idola bagi anak sendiri. Bukan hanya membanggakan bagi sang ayah secara pribadi, tapi akan sangat baik bila orangtua sendiri yang menjadi role model bagi anaknya. Sebab seperti yang kita tahu, anak remaja cenderung mengikuti tingkah laku dan cara hidup idolanya, kepribadian yang mengkhawatirkan bila semua itu sudah tertanam dalam diri sang anak. Mereka akan cenderung mengakui bahwa pilihan yang dianutnya itu sebagai salah satu pilihan yang tidak mudah, karena sang anak harus berkarakter sama persis, kecenderungan yang luar biasa membuat orang tua sangat bingung dengan semua adopsi baru dari anaknya tersebut. Hanya saja bagaimana, kalau memang keinginan sang anak adalah mengidolakan kita, bisa-bisa saja kok. Ada sedikit rahasia yang harus diketahui.
Sediakan waktu bertemu dan bertukar pikiran. "di sini kita coba mencontohkan karakter-karakter keluarga yang memang memiliki kemampuan secara ekonomi dalam kehidupan keluarganya”.
“Ayahku seorang pengusaha yang sangat sering keluar kota untuk urusan bisnis. Setiap hari dia pergi pagi dan pulang larut malam hingga aku hampir tak pernah bertemu dengannya. Terakhir kali aku berbincang dengannya, sepertinya aku sudah tidak ingat kapan. Yang ada dalam kepalaku saat ini yaitu percakapan terpanjang kami hanyalah 30 menit lamanya. Sekarang, aku merasa tidak nyaman bila berada di dekatnya, aku tidak ingin berbincang dengannya, dan berharap dia terus sibuk di kantornya. Namun sebenarnya suatu hari nanti aku dan ayahku, sepertinya memiliki keinginan hampir sama, hanya saja sekarang ini bukanlah waktu yang tepat baginya untuk membicarakan masalahku dengan ayahku. Dibalik itu pernah terbersit pula dari dalam lubuk hatiku yang sangat dalam mungkin saja ayahku memang tidak memiliki keinginan untuk membicarakan masalah tersebut sekarang ini. Namun dibalik itu semua akupun memiliki pikiran yang sangat tidak baik tentunya bagi hubungan kami sebagai hubungan ayah dan anak, yaitu biarlah ayahku menjalani hidupnya di dalam bisnis, dan jangan pernah untuk merasa perduli padaku sebagai anaknya”.
Aku pernah membaca sekilas sebuah tulisan yang berjudul Who is my dad? Tulisan ini terdapat dalam sebuah situs forum untuk remaja. Tulisan ini merupakan curahan hati seorang remaja yang merasa tidak mengenal ayahnya sendiri, karena minimnya waktu bertemu dan berkomunikasi di antara mereka. Kuantitas dan kualitas waktu bercengkrama antara anak dengan ayah sangat penting untuk menambah kedekatan. Yang paling sederhana, misalnya saat makan malam bersama di meja makan.
Terima anak kita sebagai individu yang memiliki pilihan, selera dan pendapat pribadi.
Sosok seorang ayah akan menjadi dominasi dalam keluarga. Sebenarnya sangat wajar sekali bila seorang ayah menginginkan anak gadisnya berpenampilan rapi, manis dan feminin. Namun ada sedikit pertanyaan, secara tiba-tiba kita melihat sesuatu yang aneh, misalnya bagaimana bila pakaian kesukaan anak ternyata kaus oblong, celana jeans, dan sandal jepit? Tidak ada salahnya memberi masukan pada anak untuk tampil lebih sesuai, khususnya dalam acara-acara penting tertentu. Akan tetapi dibalik itu semua ayah juga perlu belajar menerima selera pribadi anaknya tersebut. Karena itu adalah pilihan baik menurut mereka.
Begitu pula halnya saat anak memilih cita-cita atau jurusan studinya, memilih teman, bahkan memilih pacar, ayah harus bisa menghargainya. Meskipun dari dalam diri orangtua sangat menginginkan anak memiliki teman-teman atau kekasih yang baik, bukan berarti kita yang harus memilihkannya. Sebelum ayah protes pada teman anak yang terlihat urakan, bagaimana kalau kita lebih memilih memanfaatkan waktu tersebut terutama mengarahkan isi pembicaraan kepada sebuah perkenalan kita dengan mereka.
Ingatlah untuk selalu mendengarkan terlebih dahulu alasan dan pendapat anak, baru memberi masukan atau argumen bila memang ada yang tidak sesuai dengan kita. Sebutkan juga alasan yang jelas saat menyatakan pendapat kita, agar anak bisa lebih mengerti dan menerima, bukan sekadar harus menuruti perintah dan larangan dari orangtua.
Perbedaan pendapat memang dapat menjadi pemicu konflik yang sangat rentan antara ayah dan anak. Akan tetapi segala sesuatu sebenarnya dapat diatasi dengan komunikasi yang terbuka. Ayah sebagai pihak yang lebih dewasa seyogyanya memiliki kesabaran yang lebih daripada anak.
Wibawa + Tegas # Galak.
Sebenarnya kalau kita mau mengerti bahwa seorang kepala rumah tangga, yaitu sosok ayah diposisikan sebagai seorang yang terhormat dan berwibawa. Seringkali untuk menjaga wibawa ini, ayah menunjukkan sikap tegas dalam menghadapi segala hal dalam keluarga. Perlu ditekankan bahwa tegas itu penting sekali, terutama dalam menyelesaikan berbagai masalah yang menyangkut kenakalan remaja. Akan tetapi harus mampu membedakan antara tegas dengan galak.
Hal itulah yang selalu memunculkan reaksi baru yaitu timbulnya emosi meledak-ledak, suara keras dan membentak, apalagi memukul, itu semua sebaiknya dihindari. Tidak perlu merasa khawatir wibawa kita sebagai ayah berkurang hanya karena kurang galak. Justru, ayah yang tegas namun pengertian akan menjadi sosok yang ideal bagi anak. Pandangan-pandangan seorang anak terhadap seorang ayah, terutama anak perempuan biasanya menjadi sangat mendominasi harapan dan masa depan yang hendak mereka wujudkan dalam pergaulan sosialnya. Seperti, bila sang anak berada di luar lingkungan keluarga, sang anak akan merasa bahwa hidupnya tidak mungkin akan dapat terlindungi tanpa adanya sosok sang ayah di dekat mereka. Ini adalah sebuah gambaran penghormatan terdalam seorang anak perempuan terhadap diri ayah. Dan sekaligus sangat dibutuhkan sosok seorang ayah yang dapat mengarahkan mereka pada upaya penghindaran terhadap rasa minder dalam bersosialisasi.
Keluhan Seorang Anak
Bukan orangtua yang mengerti orang lain bila tidak pernah merasa tersentuh dan tidak pernah tahu apa yang sedang dan telah dilakukan oleh anaknya. Lingkungan pendidikan formal seringkali membuat diri anak merasa hidupnya selalu didominasi oleh berbagai tekanan mutlak akademik dalam kehidupannya. Akan timbul masalah baru bagi orang tua, yaitu keluhan bosan sekolah, sebagai reaksi hebat yang keluar dari mulut seorang anak ibarat “petir disiang bolong” bila orang tua mereka mengetahuinya. Apabila anak mulai merasa bosan sekolah maka dampaknya secara bertahap akan meluas pada aspek-aspek pribadi sang anak, terutama perubahan-perubahan perilaku apabila tidak segera ditangani dengan baik. Keadaan paling buruk ialah jika anak benar-benar mogok tidak mau sekolah sama sekali. Belum lagi bila disertai pelarian masalah sebagai kompensasi pada hal-hal yang buruk (narkoba, pergaulan bebas, dst).
Anak yang bosan sekolah biasanya pada tahap awal cenderung merahasiakan kondisi ini dari orang tuanya karena khawatir akan mendapatkan amarah/sangsi. Orangtualah yang harus aktif, tanggap dan sensitif terhadap keadaan dan perkembangan anaknya sehari-hari. Harapan sang anak sebenarnya ada sedikit perhatian dari orang tua. Itu merupakan salah satu kebutuhan, sehingga pilihan sang anak untuk memilih menyatakan dirinya bosan sekolah dapat diketahui lebih dini.
Dari dalam diri kita akan memiliki pertanyaan yang sangat bagus, Apakah memiliki rasa bosan itu adalah suatu hal yang salah? Sebenarnya sebagai manusia, perasaan bosan adalah perasaan lumrah yang dikaruniai Tuhan. Kita tidak dapat menghilangkan perasaan ini kecuali mengendalikannya. Bila dilihat dari sisi positifnya, rasa bosan adalah early warning system untuk kesehatan mental manusia. Rasa bosan mengingatkan yang bersangkutan bahwa dirinya tidak bisa meneruskan kegiatan rutin atau kegiatan yang sifatnya monoton, apalagi dijalani tanpa ada break sejenak atau adjustment pada lingkungan sekolahnya.
Bila kita melihat kondisi masa dan respon pendidikan dari setiap orang, rasa bosan pada seorang pelajar bisa terjadi karena banyak hal. Sebagai orang tua sebenarnya, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab munculnya perasaan bosan tersebut dalam diri anak.
Pertama, Sekolah, yaitu Kondisi Sekolah Kurang Menarik. Sekolah tidak cukup memberikan pengalaman yang menarik bagi anak, misalnya fasilitas sekolah yang minim dan kurangnya kualitas guru dalam menyampaikan pelajaran. Kedua, Individu, yaitu Anak Merasa Kurang Percaya Diri. Rasa kurang percaya diri bisa dikarenakan antara lain oleh ketidakmampuan anak menyerap pelajaran di sekolah, keadaan sosial ekonomi dan kurangnya dukungan dari lingkungan/ orang tua.
Ketiga, Teman, yaitu Konflik di Sekolah. Seorang anak yang sedang mengalami konflik di sekolah, apakah itu dengan teman, sahabat ataupun guru akan membuatnya merasa tidak nyaman. Konflik-konflik yang terjadi dalam lingkungan sekolah menjadi pangkal yang sangat memungkinkan anak tidak pernah merasa senang dengan kondisi sekolah. Keempat, Akademik, yaitu Beban Belajar Melebihi Kapasitas Anak. Anak belum bisa mengelola waktunya dengan baik, sehingga banyaknya tugas sekolah sangat membebaninya. Hal lain bisa terjadi bila anak terlalu dibebani dengan berbagai kursus–khususnya yang bukan atas dasar minat mereka–mereka melakukannya dengan tekanan dan tidak enjoy. Anggapan yang ada dari dalam diri mereka bahwa kursus yang diatur oleh orangtua itu adalah aktivitas yang membosankan, menjelimet, dan sangat menjengkelkan.
Seorang pelajar yang merasa bosan sekolah, umumnya menunjukkan ciri-ciri antara lain emosi yang tak stabil, tidak antusias belajar, sering membolos (tanpa diketahui orang tua). Ada juga yang menunjukkan gejala-gejala psikosomatis seperti sakit perut, mual, sakit kepala setiap mau berangkat ke sekolah. Bila menemui anak kita memiliki kondisi seperti tersebut berarti kesiapan mengingatkan mereka agar selalu merasa senang bila harus berada dalam dunia pendidikan yang sedang dijalani menjadi bagian utama.
Diperlukan dorongan yang tepat dari orangtua agar anak mampu memahami dan mencari solusi dari masalah bosan bersekolah ini. Dikhawatirkan kebosanan ini akan terjadi sepanjang mereka masih berusia sekolah. Apa jadinya bila itu sudah terjadi dari sejak dini dan tanpa sadar bahwa kita tidak mengetahuinya. Betapa menyakitkan ketika kita mengetahui semua itu. Untuk itu pemahaman orangtua terhadap kebiasaan anaknya harus menjadi lebih memiliki dominasi dalam pengaturan dan pengendalian keinginan penting dari sang anak.
Selanjutnya tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua terhadap anak, yaitu: pertama, Jalin komunikasi Yang Harmoni. Jika masalah sudah terungkap, bantu anak menyelesaikan persoalan dengan mengarahkannya menemukan beberapa kemungkinan solusi. Lakukan selalu pendekatan afeksi yaitu pendekatan yang didasarkan rasa kasih akung dan perhatian tulus, yang dapat membuat anak merasa nyaman dan aman. Orang tua selayaknya dapat bertindak sebagai sahabat bagi anak. Aku sangat yakin bahwa kita memiliki karakter seperti tersebut di atas, karena sebelumnya telah dinyatakan bahwa kita adalah orangtua yang baik.
Kedua, Bangkitkan Rasa Percaya Diri Anak. Makin tinggi kepercayaan diri anak, makin mampu ia menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Jika anak mengalami konflik dengan teman, sebaiknya orangtua jangan melibatkan diri terlalu jauh. Tumbuhkan rasa percaya dirinya bahwa ia sanggup mengatasi masalah tersebut. Bukan berarti kita tidak perlu merasa khawatir pada sang anak, namun bila kita mampu mengarahkan mereka pada pembentukan rasa percaya diri akan lebih baik untuk jangka panjang si anak, mengapa tidak.
Ketiga, Pacu Anak Untuk Mengelola Waktunya Dengan Efektif. Anak perlu diasah agar bisa menghadapi masalah dengan cara berpandangan positif. Misalnya ada tugas pekerjaan rumah yang banyak tentunya akan tuntas jika diselesaikan satu per satu dengan tekun. Dengan begitu anak paham untuk tidak hanya melihat dari seberapa banyak tugas yang dihadapi, tapi bagaimana caranya agar tugas itu bisa diselesaikan. Itu adalah cara pandang baik sesuai dengan cara-cara kerja yang seharusnya dimiliki oleh anak agar mereka tidak merasa kesulitan dan akhirnya tidak memunculkan rasa bosan.
Keempat, Beri Kegiatan Lain Yang Menyenangkan. Kegiatan yang menyenangkan (refreshing) merupakan salah satu faktor penting untuk menyeimbangkan aktivitas di sekolah. Untuk itu orang tua harus memahami minat dan kesenangan anak. Misalnya bermain musik, olah raga, atau mungkin banyak lagi refreshing yang mungkin dapat membuat mereka benar-benar terlepas dari kepenatan aktivitas sekolah. Kalau memungkinkan lebih baik ajak anak memilih aktivitas tersebut sesuai keinginannya ”sesuaikan dengan kemampuan kita”. Perlu diingat bahwa jangan sampai kegiatan-kegiatan ini malah membuatnya lelah, bahkan membuat mereka merasa tertekan alias stres. Bila mereka merasa sangat puas terhadap apa yang telah dipilih oleh orangtua berarti mereka mulai mempercayai pilihan orangtuanya tidak selalu kuno dan monoton.
Kelima, Beri Waktu Untuk Relaks. Orangtua perlu juga mempertimbangkan agar ada waktu bagi anak untuk beristirahat (break) sejenak dari seluruh kegiatan. Beristirahat sangat berguna untuk mengembalikan semangat dan motivasi (recharging). Luangkanlah waktu setidaknya sabtu atau minggu untuk relaks bersama anak. Jadikan momen ini sebagai kesempatan untuk menjalin komunikasi yang hangat dan santai dengan sang anak. Buat kita merasa terhibur dengan komunikasi yang telah terjalin secara mutualisme. Dari sini mereka akan merasa terpacu untuk membuat hubungan komunikasi lebih baik.
Alasan lainnya mereka akan merasa terpenuhi informasi yang mereka tunggu-tunggu melalui komunikasi secara langsung yaitu antara anak dengan orangtua. Kemudian sang anak akan merasa terarahkan untuk setiap perubahan-perubahan keinginan dalam hidupnya, ini dibentuk melalui komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak. Biarkan terus berlanjut keakraban yang sedang tercipta. Kemudian posisikan anda sebaik mungkin agar tidak merubah harapan-harapan sang anak.
Keenam, Bersikap Empati terhadap Tingkah Laku Anak. Orang tua sebaiknya mengetahui dan bisa memahami keadaan anaknya. Penting bagi orang tua untuk mengetahui hal-hal positif yang dimiliki anak, agar dapat memberikan pujian yang tepat. Pujian berupa tepukan dipundak dan usapan di kepala sang anak merupakan energi luar biasa untuk memulai hari sekolahnya dengan lebih baik. A plus ataupun pujian tersebut cenderung akan membuat mereka merasa bangga diri dan lebih percaya bila esok hari harus bersekolah. Pilihan mereka untuk menceritakan kembali pada teman terdekatnya tentang aktivitas liburan sepertinya akan membuat suatu lingkaran komunikasi yang menarik. Bisa saja dari sini kepercayaan diri si anak akan bertambah.
Ketujuh, Bimbinglah anak dengan Pendekatan agama atau pendekatan spiritual. Bila sudah dari sejak kecil anak diajarkan memiliki kekuatan agama dalam dirinya, maka kekhawatiran kita dikemudian hari akan menjadi lebih mudah untuk menepis semua masalah pergaulan bila sudah waktunya. Kekuatan agama dalam diri si anak adalah pilihan baik karena pendekatan secara spiritual anak memang dibutuhkan dalam perkembangan mental dan spiritual dari sejak sekarang. Di sisi lain pula bahwa masa perkembangan merupakan masa penuh gejolak untuk mengetahui banyak hal yang ada dihadapan sang anak. Ilmu pendidikan agama yang kuat akan dapat memproteksi semua negative acts yang mungkin ditimbulkan. Anak seperti ini biasanya lebih memiliki daya “tahan banting”, mentalnya relatif lebih terkendali dalam menghadapi setiap permasalahan.
Selanjutnya mereka akan terus merasa optimis pada harapan masa depan. Jatuh bangun bukan menjadi jalan buntu bagi penciptaan-penciptaan kejutan untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk ke arah keberhasilan. Mereka cenderung memilih belajar dari setiap kegagalan yang telah dialami. Kemudian mereka akan memiliki kemampuan dalam memposisikan diri, sampai sejauhmana sebenarnya kemampuan intelektualitas dan mental untuk berkarya. Sebagai salah satu rekan terbaik, mengapa kita tidak berani memilih mau mengakui kemampuan yang sebenarnya telah mereka miliki.
Remaja seperti ini telah memiliki kekuatan dari dalam diri. Berarti kita tinggal melengkapi dari sebagian kekurangan yang sangat mereka butuhkan. Mereka telah berhasil mengadopsi bagian penting, berarti jalan yang akan mereka lalui semakin membuat mereka merasa tidak akan terbebani oleh banyaknya persimpangan-persimpangan yang harus dilalui. Inilah salah satu pembuktian diri mereka jalur manapun yang mereka pilih berarti resiko dan jawaban permasalahannya-pun telah ada dalam genggaman mereka.
Kekhawatiran orangtua terhadap remaja keakungan akan semakin memudar. Orangtua menjadi lebih ringan bila harus berhadapan dengan masalah-masalah pribadi terutama yang berkenaan dengan permasalahan remaja secara pribadi.